Senin, 02 Juni 2008

AOL Merugi, KPMG Digugat

Jumat, 31 Januari 2003


New York, Kamis - Perusahaan media terbesar di dunia America Online (AOL) Time Warner, mencatatkan kerugian tahunan yang terbesar dalam sejarah bisnis di AS, yakni mendekati 100 milyar dollar AS pada tahun 2002. AOL Time Warner juga diharuskan menghapusbukukan (write-off) nilai asetnya sebesar 45 milyar dollar AS.

Write-off merupakan langkah yang lazim dilakukan pada perusahaan untuk membersihkan keuangan dari aset-aset yang relatif tidak memiliki nilai atau tidak berharga lagi.

AOL Time Warner sekaligus mengumumkan pengunduran Wakil Ketua, Ted Turner.

Ted Turner adalah pendiri CNN, yang menjual Time Warner ke AOL dan menjabat sebagai Wakil Ketua.


Awal bulan Januari 2002 ini, Ketua AOL Time Warner, Steve Case juga sudah mengundurkan diri.

AOL melaporkan kerugian, persisnya 98,7 milyar dollar AS, setelah mencatatkan kerugian sebesar 44,9 milyar dollar AS pada tiga bulan terakhir tahun 2002.

Kerugian besar diderita divisi bisnis internet America Online, karena biaya yang lebih besar ketimbang pemasukan. AOL Time Warner merupakan gabungan dari AOL dan Time Warner, dan sebelumnya dinilai merupakan merger terbesar dalam sejarah bisnis.

AOL Time Warner juga digugat Komisi Pasar Modal AS (Securities and Exchange Commission/SEC) karena diduga menyembunyikan kerugian dan malah menyatakan keuntungan.

Kerugian AOL Time Warner, juga merupakan buah dari ambisi dan kepercayaan berlebihan di akhir dekade 1990-an, bahwa bisnis lewat internet adalah bisnis yang sangat menjanjikan, yang ternyata tidak terbukti sampai sejauh ini.

Sementara itu perusahaan yang bergerak di bidang konsultan dan akuntansi, KPMG, digugat oleh SEC. KPMG pernah terkenal di Indonesia saat skandal Bank Bali.

SEC menuduh KPMG-yang juga memiliki bisnis di Indonesia-sebagai melakukan pemalsuan atas hasil-hasil audit atas keuangan Xerox, perusahaan yang memiliki bisnis di bidang fotokopi dan peralatan perkantoran. Pemalsuan keuangan itu berlangsung pada periode 1997--2000.

KPMG dituduh melakukan manipulasi keuangan Xerox lewat permainan akuntansi, sehingga menutupi sekitar 3 milyar dollar AS kerugian Xerox.

Bulan April tahun 2002 lalu, Xerox setuju membayar denda 10 juta dollar AS karena memberikan pernyataan palsu.

KPMG membantah tuduhan SEC dan menuduh SEC terlalu berlebihan.

Akan tetapi, KPMG memilih penyelesaian masalah itu lewat jalur non-pengadilan. Selain menggugat KPMG, SEC juga menggugat empat rekanan KPMG. (REUTERS/AFP/MON)

Terus van.....

Minggu, 01 Juni 2008

Pertarungan Auditor Firm dalam Kasus Telkom (1)


dari http://rzagana.blogspot.com/

SEC Tak Menyanggah Interpretasi Eddy Pianto

PricewaterHouseCoopers (PwC) hampir merampungkan review atas Laporan Keuangan (LK) PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) 2002, setelah hasil kerja auditor sebelumnya, Kantor Akuntan Publik (KAP) Eddy Pianto Simon, ditolak oleh Komisi Sekuritas dan Bursa AS (US SEC). “Mudah-mudahan selesai sesuai target, pertengahan September ini,” kata Arief Ariman, Ketua Komite Audit Telkom kepada Investor Indonesia di Jakarta, pekan lalu.


Eddy Pianto, cuek saja. Sejak Bapepam AS menolak hasil auditnya terhadap LK Telkom, ia lebih banyak berada di luar negeri. Anak buahnya yang berkantor di Muara Karang, Jakarta tidak tahu, apa yang dikerjakan Eddy di Australia. Sekondannya, eksekutif PT Moores Rowland Indonesia (d/h PT Grant Thornton Indonesia), mulai bingung.

“Nggak tau deh, kenapa Eddy sering banget ke Australia. Seharusnya, dia memperjuangkan nama baiknya yang sudah tercemar akibat kasus Telkom ini. Kan, dia sudah mengirim pengaduan ke IAI (Ikatan Akuntan Indonesia, red),” kata seorang eksekutif PT MRI. “Buat kita sih, nothing to loose. Karena partner kita sekarang kan bukan dia lagi, tetapi KAP Jimmy Budi,” tambahnya.

Memang, pada 16 Juli lalu, Eddy mengirim surat ke Ketua IAI, Achmadi Hadibroto. Surat itu perihal “Pengaduan atas perlakuan tidak sehat yang diterima KAP Drs Eddy Pianto (EP) dari KAP Drs Hadi Sutanto (HP)”. Nama KAP yang disebut terakhir tak lain adalah partner PwC, sedangkan EP–ketika itu adalah partner Grant Thornton.

Dalam surat setebal lima halaman itu, Eddy menjlentrehkan kronologi kasus yang membuat namanya tercemar. “...kami, EP telah menjadi pihak yang mengalami kerugian, baik moril maupun materil yang diakibatkan, baik langsung maupun tidak langsung akibat penolakan (LK Telkom 2002 oleh US SEC, red) tersebut,” tulis Eddy tentang perlakuan tidak sehat HS itu.

Seorang akuntan senior membisikkan kepada Investor Indonesia, “bung, (kasus Telkom) ini pertarungan antara dua KAP besar.” Siapa lagi yang dimaksud, kalau bukan antara Grant Thornton (GT) dengan PwC. GT adalah auditor firm masuk dalam jajaran nomor tujuh dunia. Sedangkan, PwC masuk dalam jajaran the big four.

Tukar-menukar Dokumen

Awalnya, ketika menerima penugasan sebagai auditor PT Telkom (2002), tak ada persoalan yang dialami EP. Termasuk dengan HS, yang pada saat bersamaan menjadi auditor PT Tekomsel (anak perusahaan Telkom). Pada Januari dan Februari 2003, kedua belah pihak saling komunikasi, dan tukar-menukar dokumen. EP mengirimkan Audit Instructions kepada HS. Sebaliknya, HS mengirimkan laporan-laporan yang diminta EP sesuai Audit Instructions. HS juga mengirim dokumen yang menyatakan, sebagai auditor Telkomsel, HS independen.

Pada 17 Maret 2003, EP memberi tahu HS bahwa laporan audit Telkom akan dikeluarkan pada 25 Maret 2003. EP menyatakan akan melakukan reference terhadap hasil audit Telkomsel. Disinilah, hubungan EP dan HS kelihatan tidak sehat. Menjawab surat EP itu, HS menyatakan, tidak memberi izin kepada EP untuk me-refer hasil auditnya atas Telkomsel.

Anehnya, pada 25 Maret 2003, HS mengirimkan copy audit report Telkomsel untuk dikonsolidasikan ke LK Telkom. Dalam surat pengantarnya, HS menyatakan, “At the date of this letter, we fully stand behind our opinion as far as they relate to the financial statements of Telkomsel for the year ended December 31, 2002.” Pada surat tersebut, HS sama sekali tidak menyebut kata-kata yang tidak mengizinkan EP menggunakan hasil auditnya atas Telkomsel sebagai acuan dalam LK Telkom konsolidasi.

Namun, pada tanggal 31 Maret, HS kembali menegaskan surat tanggal 24 Maret. HS juga mengirim surat yang bernada sama kepada Presiden Komisaris dan Ketua Komite Audit Telkomsel, pada 9 April. “AU 543 para 10 (c) (i) also makes it clear that the principal auditor (KAP Eddy Pianto, red) should have our permission before referring to our audit report on PT Telkomsel in their own audit report on Telkom,” tulis HS.

Salah Tafsir atas AU 543

Perihal surat-surat tersebut, kepada Ketua IAI, Eddy memberi dua catatan. Pertama, HS melakukan miss-interpretation atas United State Auditing Standard AU 543 (AU 543), yakni para 10 (c) (i), yang menjadi dasar penolakan HS memberi izin kepada EP. Aturan SEC itu berbunyi, (10) Whether or not the principal auditor decides to make reference to the audit of the other auditor, he should make inquiries.... These inquiries and other measures may include such as the following: (c) Ascertain through communication with the other auditor: (i) that he is aware that the financial statements of the components he is auditing are to be included in the financial statements on which the principal auditor will report and that the other auditors report will be relied upon (and referred to) by the principal auditor.

Jelas, kata Eddy, AU 543 sebenarnya memperbolehkan EP untuk mengacu kepada opini HS tanpa perlu izin. “Kami mempunyai keyakinan bahwa HS telah menginterpretasikan AU 543 secara keliru, yang mengakibatkan keputusan SEC yang merugikan Telkom,” kata Eddy. AU 543, seperti halnya Standar Pemeriksaan Akuntan Publik (PSA 543), tidak mengharuskan EP minta izin, melainkan cukup mengkomunikasikannya saja. Izin dari auditor perusahaan anak dibutuhkan, bilamana nama auditor dicantumkan dalam LK konsolidasi.

Kedua, HS dalam suratnya tanggal 31 Maret, mencampuradukkan antara “izin agar EP dapat mengacu pekerjaan HS” dengan “izin agar Telkom dapat memasukkan opini HS di dalam laporan 20-F”. Dalam surat tanggal 31 Maret, HS menyatakan, izin tersebut berhubungan dengan laporan Form 20-F. Padahal, akuntan tahu, izin untuk Form 20-F seharusnya ditujukan kepada manajemen Telkom, bukan kepada auditornya, EP. Kenapa surat tertanggal 31 Maret itu ditujukan kepada EP, kalau bukan memberi izin kepada EP untuk menggunakan hasil audit HS sebagai acuan dalam memberikan opini pada LK Telkom 2002 (audited)?

Tetapi, karena surat HS tanggal 24 Maret –yang menolak memberi izin-- itulah, pada 5 Juni, SEC mengirim surat kepada manajemen Telkom. Isinya, antara lain menyatakan, karena tidak ada izin dari HS, seharusnya EP melakukan qualifikasi atau disclaimer terhadap LK Telkom 2002. SEC juga menyatakan, EP tidak mendemonstrasikan kompetensinya dalam menerapkan US GAAS. Karena alasan itu, SEC menolak laporan Form 20-F.

Keputusan SEC itu membuat Eddy dan partnernya Grant Thornton Indonesia bingung. Karena, sebelum mengirim surat ke manajemen Telkom itu, SEC sudah minta dilakukan credentialling review terhadap EP, pada 22 Mei. Heinz & Associates LLP dari Denver, Colorado, AS ditunjuk sebagai pelaksana. Dan, Heinz berkesimpulan: “We found the firm’s (KAP Eddy Pianto) conclusion in connection with this matter (US GAAS AU Section 543) to have merit and generally consistent with practices we have observed by other auditing firm.”

Konspirasi Tingkat Tinggi

Inilah yang kemudian menyiratkan ada konspirasi tingkat tinggi dalam kasus Telkom ini, yang melibatkan pejabat SEC dan pejabat PwC. Apalagi, kemudian diketahui, Telkom akhirnya menunjuk PwC untuk melakukan review atas audit yang dilakukan EP. Pejabat SEC yang menangani Telkom adalah Craig C. Olinger, Deputy Chief Accountant SEC. Dia adalah bekas anak buah Wayne Carnall, yang kini menjadi Senior Executive PwC.

Tetapi Eddy tidak peduli dengan sinyalemen itu. Pada 21 Juni 2003, Eddy mengirim surat ke SEC untuk menjelaskan interpretasi yang benar atas AU 543. Pada 25 Juni, Eddy melanjutkan teleconference dengan SEC. Dalam teleconference itu, tidak ada sanggahan dari SEC mengenai interpretasi Eddy atas AU 543. Tetapi SEC kadung menolak laporan Form 20-F Telkom, dan manajemen Telkom sudah terlanjur menyatakan, (pada 11 Juni) LK Telkom 2002 sebagai unaudited, serta menunjuk PwC (HS) sebagai auditor untuk me-review LK Telkom 2002.

Sebagai jalan terakhir, pada 16 Juli mengadu ke IAI. “Kejadian itu juga telah merusak nama baik EP dan secara serius dapat mengganggu kelangsungan usaha EP,” kata Eddy. Eddy berharap IAI meneliti kasus ini, dan minta IAI menghukum HS, bila kelak terbukti salah. Yakni merehabilitasi nama EP, termasuk mengumumkan ke media massa nasional, ke Ditjen Lembaga Keuangan, dan Bapepam. Lalu, apa tanggapan pihak IAI dan Bapepam –juga mendapat tembusan surat EP ke IAI-- yang telah mensuspen KAP Eddy Pianto?

Korespondensi antar KAP

20 Januari 2003: EP mengirim Audit Instructions kepada HS, yang mencakup ketentuan-ketentuan AU 543 atau PSA 543. HS memberi konfirmasi tertulis bahwa Audit Instructions telah diterima;

19 Februari 2003: HS mengirimkan laporan yang diminta EP sesuai Audit Instructions, termasuk dokumen yang menyatakan bahwa HS independen;

17 Maret 2003: EP mengirim surat ke HS akan melakukan reference terhadap audit yang dilakukan HS di Telkomsel. Laporan audit (Telkom) direncanakan keluar pada tanggal 25 Maret 2003;

24 Maret 2003: HS membalas surat ke EP 17 Maret 2003. HS menyatakan, tidak memberi izin kepada EP untuk menggunakan opininya atas LK 2002 (audited) Telkomsel untuk dijadikan acuan dalam LK 2002 (audited) Telkom;

25 Maret 2003: HS mengirimkan copy dari audit report Telkomsel untuk dikonsolidasikan ke Telkom. Dalam surat pengantarnya, HS menyatakan, “At the date of this letter, we fully stand behind our opinion as far as they relate to the financial statements of Telkomsel for the year ended December 31, 2002.”

31 Maret 2003: HS kembali mengingatkan EP bahwa HS tidak mengizinkan EP menggunakan opini atas LK 2002 (audited) Telkomsel dalam Form 20 F dari LK Telkom 2002.

9 April 2003: HS mengirim surat ke Preskom dan Ketua Komite Audit Telkomsel, menjelaskan keputusannya tidak memberi izin kepada EP menggunakan opini audit LK 2002 Telkomsel. Bahwa tindakan itu telah sesuai dengan AU 543.

Pada 22 Mei 2003: SEC menyetujui dilakukannya credentialling review terhadap EP sehubungan pelaksanaan AU 543. Heinz & Associates LLP dari Denver, Colorado, AS ditunjuk sebagai pelaksana.. Kesimpulan Heinz & Associates LLP adalah: “We found the firm’s (KAP Eddy Pianto) conclusion in connection with this matter (US GAAS AU Section 543) to have merit and generally consistent with practices we have observed by other auditing firm.”

5 Juni 2003: SEC mengirim surat kepada Telkom. SEC menyatakan, EP tidak mendemonstrasikan kompetensinya dalam menerapkan US GAAS, dan karenanya SEC menolak laporan 20-F Telkom.

21 Juni 2003: EP mengirim surat ke SEC untuk menjelaskan mengenai interpretasi yang benar atas AU 543.

Pada 25 Juni 2003: EP melakukan teleconference dengan SEC, juga untuk menjelaskan mengenai interpretasi yang benar atas AU 543. Dalam diskusi itu, tidak ada sanggahan dari SEC mengenai interpretasi yang disampaikan Eddy Pianto.
(rizagana/mangku)

Dipublis di Harian Investor Indonesia pada 7 September 2003

Pertarungan Auditor Firm dalam Kasus Telkom (2/habis)

HS Sudah Klarifikasi ke BP2AP

Adalah sikap bodoh, bila mempercayai akuntan dari luar negeri sebagai yang nomor satu kualifkasinya. Sebab, mereka juga tidak bersih dari tindakan merekayasa laporan keuangan.

Begitulah, kira-kira kalimat yang diucapkan Presiden Megawati Soekarnoputri saat membuka Kongres IX Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) di Jakarta, September, tahun lalu. Semua tahu, skandal laporan keuangan paling spektakuler terjadi di Amerika Serikat (AS), negara yang dikenal sangat menjunjung tinggi keterbukaan, mengagungkan transparansi, dan memosisikan diri sebagai kampiun good corporate governance. Sebut saja kasus Enron, Tyco, Dynegy, WorldCom, Xerox, Merck, dan beberapa kasus lainnya.

Erry Riyana Hardjapamekas, pengurus teras IAI, dalam sebuah tulisannya di Majalah Tempo, beberapa waktu lalu, berpendapat: “sulit dipercaya bahwa kejadian (di AS, red) itu merupakan kealpaan prosedur audit, apalagi kekeliruan teknis pembukuan. Sangat kuat persepsi publik bahwa skandal itu merupakan buah dari sebuah desain yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang cerdas dengan pengetahuan dan ketrampilan tingkat tinggi, tentu dengan semangat kolusi berjamaah.”

Singkat cerita, kata Erry, skandal (yang terjadi di AS, dan mungkin yang terjadi di Indonesia) itu bukan lagi sebuah kecelakaan bisnis, melainkan salah satu perwujudan keserakahan.

Kasus Telkom, tentu tidak sama dengan Enron dan skandal akuntansi di AS lainnya. Dari surat pengaduan KAP Eddy Pianto kepada IAI tentang perlakuan tidak sehat dari KAP Hadi Sutanto (PwC), bukanlah skandal rekayasa laporan keuangan. Tetapi, apakah kasus perseteruan dua KAP yang mengaudit Telkom itu merupakan salah satu perwujudan keserakahan, seperti ditulis Erry Riyana, pengurus IAI, itu?

Yang jelas, bagi Eddy, perlakuan tidak sehat dari KAP Hadi Sutanto (HS) bukan hanya merugikan Telkom dan namanya, tetapi juga menyangkut kelangsungan usahanya, KAP Eddy Pianto (EP). Ini pula yang dituntut Eddy kepada organisasi profesi, IAI. Yakni, demi membersihkan namanya, bukan hanya kepada Bapepam, DJLK dan perusahaan yang bakal menggunakan jasa auditnya, tetapi kepada masyarakat luas.

Menunggu BP2AP

Sudah hampir dua bulan, Eddy Pianto mengirimkan surat pengaduan ke organisasi yang membawahi profesi akuntan, IAI, itu. Achmadi Hadibroto, Ketua Umum IAI menyerahkan penyelesaian masalah pengaduan KAP Eddy Pianto (EP) sepenuhnya kepada BP2AP (Badan Peradilan dan Pemeriksaan Akuntan Publik). “Kalau ada perselisihan profesi menjadi wewenang BP2AP,” kata Achmadi, yang sebelum menjadi ketua umum IAI sempat memimpin BP2AP.

Rusdi Daryono, ketua BP2AP, mengatakan, lembaganya tengah menangani pengaduan EP tersebut. Pihaknya kini masih mempelajari, dan mengumumpulkan informasi, untuk kemudian membahasnya. “Pihak KAP Hadi Sutanto (PwC) sudah memberikan klarifikasi kepada kita,” kata Rusdi, yang juga akuntan dari KAP Hans Tuanakotta & Mustofa (partner Deloitte Touche Tohmatsu).

Sayangnya Rusdi tidak menjelaskan isi klarifikasi dari HS itu. Ia juga belum bisa memberikan gambaran yang lengkap tentang kasus perseteruan antara dua KAP, yang menjadi anggota IAI itu. Karena itu, kata Rusdi, penanganan masalah tersebut kemungkinan agak lambat. Bukan hanya soal kasusnya, tetapi juga perlu memanggil kedua belah pihak yang berseteru, untuk kemudian dilakukan pengkajian.

Hariyanto Sahari, Senior Partner HS, setelah berkali-kali dihuubngi dan ditemui Investor Indonesia akhirnya mau juga buka suara. “Kita sudah berikan klarifikasi mengenai pengaduan tersebut kepada BP2AP,” kata Hariyanto. Sayangnya, Hariyanto yang memang menangani laporan keuangan Telkomsel, anak perusahaan Telkom, dan tugas me-review laporan keuangan Telkom 2002, tidak menyebutkan, klarifikasi macam apa yang diberikan kepada BP2AP. Sehingga tidak diperoleh jawaban dari HS tentang semua tuduhan Eddy dalam surat pengaduannya kepada IAI pada 16 Juli lalu (tulisan pertama).

Menurut Hariyanto, pengaduan sesama anggota IAI sebagai hal yang lumrah. “Hal tersebut boleh saja dilakukan antara sesama akuntan anggota IAI,” katanya. Dan, penyelesaiannya kini sudah di tangan BP2AP. “Saat ini, kita masih menunggu tanggapan IAI (BP2AP, red) mengenai klarifikasi yang sudah diberikan,” katanya.

Namun, Rusdi Daryono, ketua BP2AP belum bisa memastikan dan belum memiliki gambaran, kapan kasus ini bakal selesai. Yang jelas, lanjut Rusdi, BP2AP berusaha untuk sesegera mungkin menyelesaikan kasus ini. Kemudian, hasilnya diserahkan ke kompartemen Akuntan Publik di IAI. “Nanti, hasilnya akan diumumkan di kompartemen IAI,” katanya.

Sementara itu, Ketua Majelis Kehormatan IAI, Kanaka Puradiredja masih menunggu hasil pemeriksaan BP2AP terkait pengaduan EP. Ia belum tahu secara persis isi pengaduan salah satu anggotanya itu.

Hasil pemeriksaan BP2AP, menurut Kanaka, sangat penting, karena akan menjadi acuan bagi lembaga lain, seperti Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) dan Direktorat Pembinaan Akuntan Publik dan Jasa Penilai, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK), Departemen Keuangan (Depkeu) mengambil keputusan. Kedua lembaga itu memang berwenang mengawasi akuntan publik. “Sebaiknya kedua lembaga itu menunggu hasil pemeriksaan organisasi profesi, agar tidak terjadi tumpang tindih,” kata Kanaka.

Bapepam Terus Periksa

Abraham Bastari, Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan (PP) Bapepam berpendapat, antara IAI, DJLK Depkeu serta Bapepam tidak saling terkait. “Kalau etika antar profesi tentu arahnya ke IAI,” kata Abraham. DJLK adalah lembaga yang bertugas melakukan pembinaan terhadap akuntan publik yang beroperasi di Indonesia. DJLK-lah yang akan mencermati proses audit yang dilakukan kantor akuntan publik yang sudah terdaftar, seperti EP. Sementara Bapepam melakukan pengawasan, khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran di bidang pasar modal.

“Jadi pemeriksaan terhadap KAP Eddy Pianto jalan terus, meski ada surat Eddy Pianto yang mengadukan PwC kepada IAI,” kata Abraham. Seperti diketahui, ketika kasus laporan keuangan Telkom ditolak SEC, Bapepam langsung menghentikan sementara kegiatan KAP Eddy Pianto --yang sudah terdaftar di Bapepam-- untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan publik di Indonesia. Setelah disuspen, Bapepam baru melakukan pemeriksaan.

Menurut Abraham, langkah EP mengadukan HP (partner PwC) ke IAI tidak terkait dengan pelaksanaan atau pelanggaran di bidang pasar modal. “Pengaduan itu adalah masalah (kode etik) profesi,” tegasnya. Sedangkan yang sedang diteliti dan diperiksa Bapepam adalah berkaitan dengan kompetensi EP mengaudit Telkom, perusahaan yang listing di Bursa Efek Jakarta.

Meski begitu, masih kata Abraham, Bapepam akan mengakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk dengan IAI dan DJLK. Biro PP sudah menyurati DJLK dan IAI dalam upaya mengumpulkan informasi. “Kita kumpulkan semua informasi yang terkait dengan Eddy Pianto,” jelasnya.

Eddy Pianto sangat berharap kasusnya segera diselesaikan, baik di Bapepam maupun di IAI, karena menyangkut kelangsungan usaha bisnisnya. Publik juga berharap, IAI dan Bapepam bisa menuntaskan kasus ini segera. Bukan hanya menyangkut KAP Eddy Pianto dan KAP Hadi Sutanto, melainkan profesi akuntan, yang –kata Erry Riyana Hardjapamekas dalam kolomnya di Majalah Tempo beberapa waktu lalu— nyawanya adalah kepercayaan publik.

Bermodal kepercayaan publik itulah, akuntan publik diberi “hak istimewa” untuk melakukan fungsi atestasi (pengecekan). Atas nama kepercayaan publik pula, mereka berhak menerima bayaran, sebagai imbalan atas independensi, obyektivitas, dan kompetensi profesionalnya. Maka hak hidup akuntan publik harus hilang, dan hak atas imbalan itu menjadi haram, ketika mereka kehilangan independensi, obyektivitas, apalagi profesionalismenya. (rizagana/emir/mangku)

Dipublis di Harian Investor Indonesia pada 8 September 2003
Terus van.....

Mendirikan Perusahaan di Cayman Islands (1)


Dari Indonesia yang Terbanyak


Hotel Grand Hyatt, lantai 22. Ada sebuah ruang Club Grand. Di salah satu pojok coffee shop itu, enam orang sedang asyik berbincang-bincang dalam bahasa Inggris. Diskusi sambil tertawa. “An offshore company is exempt from taxes…,” kata Stella Pe, salah seorang peserta “diskusi” terbatas itu. Rekannya, Andy Pe menimpali sekaligus menegaskan tentang pentingnya perusahaan maupun individu melakukan perlindungan terhadap aset dan kekayaannya. Bukan dengan cara melanggar peraturan perundang-undangan (hukum), tetapi dengan menyiasatinya.

Stella Pe adalah salah seorang profesional Allen & Bryans (A&B), perusahaan jasa keuangan yang bermarkas di Singapura. Perusahaan yang 100 persen sahamnya dikuasai First Pacific Holdings Group Inggris ini sedang melebarkan sayap untuk memberikan jasa konsultansi ke beberapa negara Asia, termasuk Indonesia. Sedang Andy Pe adalah regional marketing manager A&B. Mereka berdua mendapat tugas khusus untuk menggaet klien dari Indonesia.

Untuk mempermudah operasinya, A&B sebelumnya memasang iklan di media massa ibukota tentang jasa yang mereka tawarkan. “Perusahaan Bebas Pajak di Luar Negeri dan Singapura. Seperti di BVI (British Virgin Islands), Samoa, Bahamas, Cayman Islands dan Singapura. Kami telah berpengalaman selama lebih dari 12 tahun dalam: Perencanaan Pajak, Pendirian Perusahaan, Pengelolaan Harta, Urusan Perbankan luar negeri, Rahasia Keuangan. Konsultasi Gratis di Grand Hyatt, Jakarta ….”

Iklan tersebut dilengkapi dengan nomor telepon seluler dan nomor telepon markas mereka di negri Singa berikut nomor faksimili. Untuk mengetahui lebih detil tentang jasa yang ditawarkan, mereka siap menerima konsultansi secara gratis di hotel bintang lima itu. Mereka juga memberikan kontak person yang khusus stand by di Jakarta. “Ada yang bisa saya bantu,” kata Dicky, salah satu staf mereka yang di Jakarta. Kebetulan, waktu itu, ia sedang berada di Singapura.

Lalu, Dicky dengan antusias menawarkan sebuah janji pertemuan di hotel bintang lima itu. Kebetulan, saat itu, dua orang kepercayaan A&B sedang berada di Jakarta untuk keperluan memberikan jasa konsultasi. Itulah Stella dan Andy. “Ok, kita ketemu sore ini,” kata Stella ramah.

Menemui Stella dan Andy memang tidak sukar. Tetapi jadwalnya teramat padat. Maklum, yang berminat konsultasi cukup banyak, sementara waktu yang tersedia terlalu sempit. Dan mereka sudah booking sejak sebulan lalu. Menurut dia, kedatangan mereka ke Jakarta hanya sebulan sekali. “Itu pun paling banter dua hari. Tergantung request,” katanya. Biasanya, peminat sudah lebih dulu membuat appointment dan semua itu diatur sedemikian rupa agar tidak bentrok satu sama lain. Dan, biasanya para peminat itu minta identitas mereka dirahasiakan.

Terbanyak dari Indonesia

Bahkan, ketika Investor Indonesia menanyakan sudah berapa banyak klien yang berasal dari Indonesia, baik Stella maupun Andy, tak bersedia menyebutnya. “Maaf, ini konfidensial,” kata Stella. Angka saja rahasia, apalagi menyebut nama-nama yang akan, sedang atau sudah menjadi kliennya. Yang jelas, lanjut Stella, para pengusaha Indonesia amat antusias dengan tawaran jasa konsultansi dari A&B. Klien A&B adalah end-users dan perusahaan-perusahaan konsultan profesional. “Komposisinya fifty-fifty-lah,” kata Stella. End-users, lanjut dia, mencakup individu yang sangat kaya, pengusaha, wiraswastawan, UKM (Usaha Kecil dan Menengah), bahkan konglomerat dan MNC.

“Klien kami adalah dari Indonesia (40%), AS (20%), Kanada (15%), Inggris, Jerman, Prancis & Rusia (15%) dan bagian-bagian lain di Asia, seperti Hongkong, Vietnam dan China (10%),” kata Stella. Industri yang ditangani menyebar mulai dari importir, eksportir, pedagang, manufaktur, konsultan, e-bisnis, perancang, profesional IT, bisnis hiburan dan banyak lagi. Lainnya termasuk para pemegang hak lisensi, hak perangkat lunak, franchise, hak penggandaan dan paten. Klien A&B termasuk pula para investor saham atau real estat, pemilik kapal, dll.

Menyebarnya klien A&B ini tidak terlepas dari jasa-jasa yang diberikan, termasuk jasa-jasa spesialis yang diberikan kepada perusahaan konsultasi. “Mereka kemudian menjual kembali jasa kami kepada klien mereka. Ini termasuk firma hukum dan kantor akunting di Indonesia, Singapura, Malaysia, Hongkong dan juga perusahaan-perusahaan konsultan internasional,” lanjut Stella. Selain itu, A&B juga konsultan spesialis pajak dan korporat untuk vendor-vendor besar luar negeri sampai konglomerat lokal. A&B membantu para vendor ini menyusun kontrak-kontrak mereka dengan Singapura untuk menghindari dan meminimalkan pajak dan pendapatan pajak internasional.

A&B adalah perusahaan yang sudah 10 tahun lebih berpengalaman di bidang jasa ini. Langkah ekspansi dengan menawarkan jasanya secara langsung ke Indonesia, Jakarta khususnya, sudah dirintis sejak tiga tahun lalu. Pada awalnya A&B memang belum memasang iklan di media massa Indonesia. “Baru-baru ini saja kita mengiklankan diri di media massa Jakarta. Sebulan lalu-lah,” katanya. Hasilnya memang cukup fantastis. Sejak iklan dipasang, banyak yang menelpon untuk minta informasi. Tak sedikit pula yang kemudian minta waktu untuk konsultasi gratis.

Selain menawarkan konsultasi gratis di Jakarta, A&B juga mulai merambah ke Surabaya dan Medan. “Ini yang pertama kali, kami masuk Surabaya dan Medan. Tapi, karena kliennya belum begitu banyak, saat ini kami minta mereka yang dari luar kota untuk datang ke Jakarta saja dan ketemu di Grand Hyatt,” kata Andy. Peminat dari Surabaya dan Medan belum sebanyak Jakarta.

Ketika ditanyakan tentang kemungkinan A&B membuka kantor cabang atau representative office di Jakarta, baik Andy maupun Stella menyatakan, peluang ke arah itu tidak tertutup. Apa yang dilakukan A&B sekarang dengan bertandang ke Jakarta sekali sebulan merupakan embrio dari rencana besar perusahaan accounting firm yang bermarkas di Singapura ini. “Sampai saat ini, A&B belum memiliki kantor cabang di luar Singapura. Tapi kami memiliki klien dari banyak negara,” katanya. (rizagana dan iwan subarkah)

Dipublis di Harian Investor Indonesia pada 18 September 2002


Mendirikan Perusahaan di Cayman Islands (2-Habis)

Biayanya Cuma 2.500 Dolar AS

Edward Soerjadjaja, pengusaha yang lama mangkal di Singapura, tak terkejut saat diinformasikan bahwa di Jakarta sekarang banyak bertebaran perusahaan jasa maupun kantor auditor dan pengacara yang menyediakan jasa konsultasi pendirian perusahaan di luar negeri (offshore company), baik di Cayman Islands atau British Virgin Islands (BVI). “Itu mah dari dulu. Di Singapura, bahkan ada ratusan perusahaan konsultan semacam itu,” kata bekas bos Group Summa itu kepada Investor Indonesia melalui telepon selulernya.

Tidak sulit mendirikan sebuah perusahaan di negara-negara yang menerapkan sistem bebas pajak semacam Cayman Islands atau BVI. “Nggak sampai seminggu sudah jadi perusahaannya. Gampang, asal kita mau saja,” kata putra taipan William Soerjadjaja ini. Seorang pengacara yang dihubungi Investor Indonesia juga membenarkan ucapan Edward. “Emang gampang. Sebenarnya bisa selesai dalam tiga hari, bahkan ada yang instant. Biayanya juga cuma antara 2.500 sampai 3.000 dolar AS per perusahaan,” kata pengacara kondang yang enggan disebut jati dirinya itu.

Instant artinya tinggal mengisi nama perusahaan, dan menyetor uang sebagai fee, maka offshore company (OC) yang diharapkan sudah di tangan. Biaya segitu, kata pengacara tadi, adalah biaya fee dan biaya-biaya lain, seperti modal setor perusahaan, kantor virtual atau registered office, lengkap dengan biaya menyewa PO Box di negara tempat OC didirikan sebagai alamat resmi perusahaan . “Semua akan diurus oleh konsultan, termasuk pendaftaran perusahaan kita ke pemerintah setempat. Kita tinggal menandatangani transfer form, dan cukup dikirimkan lewat faksimili. Setelah itu, kita sah menggunakan perusahaan itu untuk apa saja,” katanya.

Pengacara yang tergabung dalam kantor pengacara kondang ini sudah lama menekuni bisnis macam itu, sejak 1995. Tetapi pada 2000 lalu, ia tidak lagi menggeluti bisnis ini, karena pekerjaannya mendampingi klien makin mbludak. “Tapi, kalau ada yang mau dan minta bantuan gue, kenapa ditolak,” katanya. Kantor pengacara, kantor auditor atau perusahaan jasa keuangan yang bertebaran di Jakarta rata-rata bisa membantu pendirian OC. “Setiap consulting firm yang terafiliasi dengan perusahaan sejenis di luar negeri, biasanya menyediakan jasa yang satu ini,” katanya.

Biaya 2.500 sampai 3.000 dolar AS itu sebenarnya biaya resmi rata-rata yang dibebankan consulting firm di dunia. Tetapi tidak sedikit perusahaan jasa di Indonesia yang memberikan biaya lebih. “Tinggal pandai-pandai kita bernegosiasi,” katanya. Dan, yang juga perlu diperhatikan oleh para peminat OC adalah dalam memilih wilayah. “Cayman Islands sekarang ‘jorok’ karena khawatir terkontaminasi money laundering. Orang sekarang lebih suka BVI karena bersih dari uang haram. Mauritius juga oke, dan lebih sopan,” katanya.

Instabilitas Politik di Indonesia

Penggunaan offshore company bermula di Barat. Berbekal pengetahuan yang baik tentang dunia luar, para pebisnis, individu dan ekspatriat, telah lama menjadikan OC demi menjaga kerahasiaan bisnis, perencanaan pajak, perlindungan aset-aset dan manajemen risiko. Di Asia, mendirikan perusahaan di luar negeri relatif asing. Namun kini, seiring perkembangan aktivitas perekonomian dan perdagangan serta investasi internasional yang begitu pesat, permintaan akan OC juga melesat. Itu karena para pebisnis, apalagi yang kaya raya menyadari betul potensi ekonomi dan keuntungan-keuntungannya.

Hal ini juga didukung oleh kemunculan pasar yang sangat besar di China dan India. Juga potensi bisnis di Asia Utara dan Tenggara telah menciptakan peluang-peluang yang begitu besar bagi aktivitas ekonomi internasional dan investasi lintas batas. Kembalinya Hongkong ke pangkuan China semakin memicu permintaan pengusaha Asia akan OC.

Tapi khusus di Indonesia, kata Stella Pe, konsultan finansial dari A&B, instabilitas politik ikut memicu pesatnya permintaan akan OC.

OC menjadi tempat yang aman untuk merengkuh kemakmuran dan investasi, atau sebagai tempat penampungan dana-dana dari operasi internasional untuk menghindari pembatasan nilai tukar di negeri sendiri. Menurut Stella, ada beberapa hal yang menjadi dasar pijakan kenapa banyak pebisnis mulai melirik daerah semacam Cayman Island, British Virgin Islands, Samoa, Bahamas, dan Mauritius sebagai basis mendirikan OC. Selain beban pajak yang nol atau sangat kecil, ada banyak hal yang menjadi pertimbangan kenapa banyak pengusaha Indonesia akhir-akhir ini mendirikan OC. (lihat tabel)

Pertama-tama adalah tanggung jawab legal yang terbatas, dan pajak nol. Dalam hal pajak, keuntungan dari kepemilikan investasi, perdagangan internasional dan usaha bisa dikumpulkan tanpa harus menanggung beban pajak, yang di Indonesia mencapai 30 persen. Selain itu, pendirian perusahaan di luar negeri sangatlah mudah, semudah menutupnya. Sebuah perusahaan bisa didirikan dalam satu hari dengan persyaratan legal yang minimum. Tetapi menutup perusahaan juga sangat gampang, dan tidak perlu melalui proses likuidasi yang lama dan memakan biaya. “Inilah salah satu alasan akan popularitas OC sebagai alat bagi proyek, kontrak, joint venture, merger dan akuisisi luar negeri,” kata Stella.

Yang juga menjadi pertimbangan utama para peminat OC adalah rahasia pemegang saham, dewan direktur, dan urusan-urusan perusahaan sangat terjaga. Di sebagian besar wilayah hukum, tidak ada persyaratan untuk mengumumkan orang-orang perusahaan pada pihak berwenang dan publik. Selain itu, pemerintah setempat juga menjamin kerahasiaan urusan bisnis dan status keuangannya. Penggunaan direktur nominee (perwakilan) dan pemegang saham nominee diizinkan. Juga merupakan sebuah pelanggaran di banyak wilayah hukum bagi seseorang untuk mengungkapkan informasi mengenai pemegang saham perusahaan, kepemilikannya, bisnis, keuangan dan transaksi-transaksinya.

Selain itu, yang juga menggiurkan adalah pertemuan atau rapat dewan direktur dan rapat umum pemegang saham bisa dilakukan di mana saja, di seluruh dunia. Bahkan, via telepon pun boleh. Peraturan dan pengawasan dari pemerintah setempat sangat minimum. Begitu juga persyaratan modal minimum sangat ringan. “Satu perusahaan bisa menggunakan minimal satu orang pemegang saham dengan syarat modal minimum adalah satu dolar AS,” kata seorang pengacara kondang di Jakarta. Dan, last but not least adalah di negara-negara ini tidak mengenal kontrol devisa, sehingga orang bebas membawa dan menarik dananya dari negara tersebut.

Para pemilik perusahaan di negara-negara “bebas pajak” itu juga tidak diwajibkan memiliki kantor secara fisik, dan tak perlu ada staf yang khusus menjaga kantor itu. Kantor pengacara (lawyer) akan menyiapkan seluruh persyaratan kantor tercatat dengan alamat PO Box, agen berikut sekretaris perusahaannya. Rekening perusahaan juga tidak harus dibuka di bank atau kantor cabang bank di negara setempat, tetapi bisa dibuka di bank mana pun. “Biasanya yang diizinkan adalah bank-bank yang bermarkas di negara yang menganut sistem hukum yang sama, yakni Common Law atau negara-negara persemakmuran,” katanya. (rizagana dan iwan subarkah)


“Kelebihan” Offshore Company
Tanggung jawab legal yang terbatas .
Pajak nol atau rendah
Cepat dan mudah didirikan maupun ditutup.
Tak perlu menyerahkan rekening hasil audit, sehingga tak memberatkan pendapatan.
Pemegang saham, dewan direktur dan staf bisa anonim. Seseorang dijamin kerahasiaan urusan bisnis dan status keuangannya.
Bisa juga menggunakan direksi dan/atau pemegang saham nominee tanpa harus kehilangan kontrol atas perusahaan itu.
Rapat dewan direksi dan pemegang saham bisa dilakukan di manapun di seluruh dunia. Transaksi bisnis dan kontrak bisnis bisa diteken dimana saja.
Peraturan dan pengawasan pemerintah minimum
Persyaratan pembayaran modal cukup satu dolar AS.
Tidak ada kontrol devisa.
Tak perlu memiliki kantor perwakilan secara fisik.
Tak perlu memiliki rekening di bank yang beroperasi di negara tersebut. Bisa membuka rekening di bank manapun.

Penggunaan Offshore Company
Untuk investasi, joint venture, proyek luar negeri atau alat merger dan akuisisi. Manfaat utamanya adalah bebas pajak; mudah didirikan, dikelola dan dilikuidasi.
Untuk perencanaan pajak
Untuk perlindungan kekayaan dan pendapatan.
Menghindari kontrol devisa.
Untuk kerahasiaan masalah-masalah keuangan
Untuk kemudahan geografis.
Untuk organisasi korporat global multinasional


Tabel 1. Juridiction Incorporation, perbandingan di beberapa negara

Country,Company Type B.V.I.IBC MauritiusOffshore
Common orCivil Law Common Hybrid
Shelf CompanyAvailability Yes No
Time toincorporate 2 Days 15 Days
Minimum AnnualLicense Fees $300 $1500
Annual ReturnFiling Fee NA Nil
Taxation onForeign Profits Nil 15% or 0-35%
Double TaxationTreaty AccessNo Yes
BeneficialOwnership DisclosureNot Required RequiresDisclosure
Bearer SharesPermitted Yes No
Paid-up CapitalMinimum $1 $2
Min. AuthorisedShare Capital$50,000 $100,000
Currencies ofCapital Any Any
Currency ofCountry USD Mru Rupee
Mininum No. ofShareholders 1 Normally 2
Minimum No. ofDirectors 1 2
CorporateDirectors Permitted Not Permitted
Local DirectorsRequired No Yes2 needed
CompanySecretary Not Required Required, Local
Company SealRequired Yes Yes
Public Registerof Directors No No
Public Registerof ShareholdersNo Yes
Shareholders &Directors MeetingHeldanywhere Held inMauritius
TelephoneBoard Meetings Permitted Permitted
Submission ofaccounts No Required
Filing ofAnnual Return No Yes
Change ofDomicile Permitted Permitted
Sumber: AllenBryans.com

TABEL 2. Pendirian Offshore Company berdasarkan Paket Standar dan Paket Dasar di berbagai negara

Standard Package BVI/Samoa Mauritius/Seychelles CaymanIsl Hong Kong
Once Off Fees US$ US$ US$ US$
IncorporationFees 200 200 500 350
Government capital 480 280 580 450
dutiesand related costs
Annual Fees US$ US$ US$ US$
Registered Office 250 250 250 250
&Registered Agent(obligatory)
Company Secretary 480 480 500 500
(obligatory)
Nominee Sharehols 730 730 750 750
& Directors
Annual Government 300 100 500 350
Filing Fees (obligatory)
Disbursements 150 150 150 150
(fax, tlpe,etc)
Initial Courier 50 50 50 50

Basic Package BVI/Samoa Mauritius/Seychelles Cayman Isl Hong Kong
Once Off Fees US$ US$ US$ US$
IncorporationFees 200 200 700 350
Government capital 480 480 980 450
dutiesand related costs
Courier Costs 50 50 50 50
Once OffFees Total 730 730 1730 850
Annual Fees US$ US$ US$ US$
Registered Office 250 250 250 250
&Registered Agent(obligatory)
Company Secretary 480 480 500 500
(obligatory)
Disbursements(fax, 150 150 150 150
telephone, etc)
Annual Government 300 100 500 350
Filing Fees (obligatory)
Sumber: AllenBryans.com

Dipublis di Harian Investor Indonesia pada 19 September 2002
Terus van.....

Dipilih, Karena Mitra GrantThornton

DARI http://rzagana.blogspot.com

Kasus LK Telkom 2002, Kelalaian Manajemen? (bagian 1)

RUPS Luar Biasa TLKM pada Juli 2002, para pemegang saham meminta manajemen baru TLKM yang dipimpin Kristiono memilih salah satu auditor the big five dunia. Yakni, Earnst & Young (E&Y), PricewaterHouseCoopers (PwC), Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG), dan Delloite & Touche. Arthur Anderson sudah keburu tutup akibat kasus Enron Corporation, sehingga tinggal big four.

Sumber Investor Indonesia di TLKM menyebutkan, Komite Audit yang dipimpin Arief Arryman, Komisaris Independen TLKM, langsung menyiapkan proses tender. Tahap pertama adalah mengirim surat ke empat auditor terbesar dunia itu untuk menanyakan kesediaan mereka mengikuti tender, sekaligus mengkonfirmasi apakah ada conflict of interest. “KPMG langsung membalas, dan mengatakan pihaknya ada conflict,” katanya.


Waktu itu, ada masalah dalam penanganan KSO (Kerjasama Operasi) III Telkom dengan PT Aria West. Sehingga kasusnya dibawa ke arbitrase internasional. Masing-masing lawyer yang ditujuk kedua belah pihak menunjuk financial expert. Pihak Aria West menujuk PwC, sedangkan pihak TLKM menunjuk KPMG. Disini conflict of interst itu. “Baik KPMG maupun PwC ada conflict,” katanya.

Tinggal dua Delloite dan E&Y. Manajemen Telkom ternyata tak bisa memilih Delloite & Touche, yang di Indonesia berpartner dengan Hans Tuanakota & Mustofa (HTM). Karena HTM (yang baru saja menggandeng partner baru, Halim), saat itu sedang mendapat perhatian serius dari pemerintah, khususnya kantor Meneg BUMN, berkaitan dengan kasus PT Kimia Farma Tbk (KAEF). “Kita tidak bisa memilih HTM Delloite,” katanya.

E&Y Mundur

Akhirnya manajemen menjatuhkan pilihan pada E&Y. Keputusan itu keluar pada September 2002. E&Y langsung menyiapkan tenaganya untuk ditempatkan di TLKM. Tetapi, pada November 2002, E&Y tiba-tiba mengundurkan diri, karena menyadari ada potensi conflict di TLKM. “Sebuah keputusan yang sulit, yang mau tidak mau harus diterima manajemen,” katanya.

Mundurnya E&Y itu berkaitan dengan keputusan US SEC, yang mensyaratkan agar auditor sebuah emiten yang tercatat di NYSE tidak melakukan pekerjaan non auditor pada perusahaan yang diauditnya. Misalnya, auditor yang ditunjuk mengaudit LK TLKM, tidak diperkenankan melakukan perhitungan pajak atau melakukan valuasi dalam sebuah transaksi di dalam tubuh TLKM. “Itu berarti auditor tersebut tidak independen. Inilah yang membuat E&Y mundur,” katanya.

Saat itu November 2002. Waktu semakin sempit bagi TLKM untuk menunjuk auditor. Auditor the big four yang diminta para pemegang saham dalam RUPS jelas tidak bisa dipenuhi. “Manajemen akhirnya memutuskan untuk mencari auditor yang masuk enam atau tujuh besar dunia. Yakni BDO Seidman (Belanda) dan Grant Thornton GT),” katanya.

Manajemen langsung mencari tahu auditor firm nomor enam dan tujuh dunia itu. “BDO Seidman mengatakan tidak bisa, karena ada conflict. Saat itu BDO Seidman sedang melakukan pekerjaan valuasi di Telkom. Sehingga pilihan tinggal satu, yakni Grant Thornton,” katanya. Tetapi manajemen tidak langsung memutuskan untuk memilih GT, karena pada waktu itu partner lokal GT di Indonesia ada dua, yakni GT Hendrawinata dan PT Grant Thornton Indonesia (GTI), yang memiliki afiliasi dengan KAP Eddy Pianto Simon.

“Kita tanya GT Hendrawinata, apakah bersedia mengaudit laporan keuangan Telkom. Seketika itu juga dapat jawaban, tidak bersedia. Kita tak bisa memaksakan seseorang mau kerja dengan kita,” katanya. Pada waktu itu, Departemen Keuangan mengeluarkan rilis, yang mengumumkan Hendrawinata kena suspend. “Ini semakin membuat kita tak bisa memilih KAP GT Hendrawinata,” katanya. Investor Indonesia juga memiliki copy Salinan Keputusan Menkeu No.KEP-259/KM.6/2002 tentang Pembekuan Izin Akuntan Publik Drs Arief Hendra Winata selama enam bulan, yang ditetapkan pada 4 November 2002.

Mengenai SK Menkeu tentang pembekuan ijin akuntan publik tersebut, Arief Hendra Winata membenarkan. Ia juga membenarkan, telah dihubungi pihak TLKM untuk diminta menjadi auditor TLKM. “Saya dihubungi per telepon, dan saya langsung bilang, tidak bersedia,” kata Arief Hendra Winata kepada Investor Indonesia di Jakarta, pekan lalu.

Akhirnya pilihannya tinggal satu, yakni partner GT lain yang ada di Indonesia. Yakni KAP Eddy Pianto. Sebelum memutuskan KAP Eddy Pianto sebagai auditor yang akan mengaudit LK TLKM, manajemen tetap mencari tahu apakah KAP Eddy Pianto memiliki kompentensi untuk mengaudit LK TLKM. Khususnya yang berkaitan dengan posisi TLKM yang sudah listing di NYSE. “Kita kirim surat ke GT International yang bermarkas di AS. Dan langsung ada jawaban bahwa benar KAP Eddy Pianto adalah afiliasi PT GTI, dan PT GTI adalah partner GT International,” katanya.

GT International Comfirm

Keputusan memilih KAP Eddy Pianto sangat cepat. Yakni pada November juga, tidak berselang lama dari E&Y mundur. Itu pun dilakukan setelah mendapat klarifikasi dari GT International tentang kedudukan KAP Eddy Pianto Grant Thornton. Investor Indonesia juga mendapat copy surat dari GT International yang ditujukan kepada Mirza Mochtar, direktur Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan.

Dalam surat tertanggal 8 Oktober 2001 itu, David McDonnell, Chief Executive Worldwide GT International menulis, “we confirm that PT Grant Thornton Indonesia is a full member firm of Grant Thornton International. Eddie Pianto, Public Accounting Firm, is in association with PT Grant Thornton Indonesa and, through this association, is audhotised to carry out audit work on behalf of Grant Thornton, in accordance with Grant Thornton standards and procedures.”

Itu berarti orang nomor satu di GT International mengkonfirmasi bahwa PT GTI adalah anggota penuh GT International. KAP Eddy Pianto adalah mitra PT GTI, yang karenanya diijinkan melakukan kerja audit atas nama GT, asal sesuai dengan standar dan prosedur GT. Lagi, dalam pengumuman GT International di salah satu media ibukota, lewat Gabriel Azedo, GT International lagi-lagi menyebut adanya hubungan kemitraannya dengan KAP Eddy Pianto.

“Grant Thornton International and PT Grant Thornton Indonesia & Eddy Pianto, Registered Public Accountants, have announced a mutual separation effective at the close of business on 31 March 2003. Grant Thornton International will, effective upon the close of business on 31 March 2003, be represented in Indonesia onlu bu Grant Thornton Hendrawinata which, since 1995, has been one of its current member firms in Indonesia...”

Tapi kenapa GT kemudian mencabut dukungannya kepada KAP Eddy Pianto, pada saat KAP itu mengaudit LK TLKM? Inilah pertanyaan utama dari munculnya kasus LK TLKM. Karena pencabutan dukungan dari GT International itu pula, LK TLKM akhirnya ditolak oleh US SEC.

Terlebih lagi, setelah keluar press realese dari GT International pekan lalu melalui partner lokalnya GT Hendrawinata. Dalam rilis tersebut, GT International tak berpartisipasi dalam mengaudit LK TLKM 2002. Dan karena itu GT International tak bertanggung jawab terhadap hasil audit KAP Eddy Pianto terhadap LK TLKM 2002. Pasalnya, GT International pada Desember 2002 sudah menginformasikan kepada PT GTI, KAP Eddy Pianto, dan Komite Audit TLKM bahwa hubungan kemitraan GT International dengan PT GTI sudah berakhir, dan efektif pada tanggal 31 Maret 2003.

Tak Bertanggung jawab

Kristiono, Dirut TLKM, seperti sudah diberitakan harian ini beberapa waktu lalu, mengaku heran dengan rilis GT International itu. “Kenapa dia (GT International) mencabut dukungan setelah proses audit berjalan, tidak sebelum penunjukan?” kata Kristiono.

Kristiono bingung. James S. Kallman, Presdir PT Moores Rowland Indonesia (d/h PT Grant Thornton Indonesia) lebih bingung lagi. Sebab, perjanjian kemitraan antara GT International dengan PT GTI jelas disebutkan, PT GTI dan afiliasinya, KAP Eddy Pianto bisa menggunakan letter head GT International. “Tetapi kenapa dia (GT International) tidak mau memberi support, ketika KAP Eddy Pianto sedang menyelesaikan tugasnya? Aneh kan?” kata Kallman.

Kallman mengaku, GT International mencabut dukungannya pada Desember 2002. Karena itu, PT GTI langsung minta bantuan dari mitra GT yang ada di Austra. Waktu itu, sekitar dua orang GT Austria datang ke Jakarta untuk memberikan support kepada KAP Eddy Pianto. “Kalau tidak salah pada Januari 2003. Orang GT Austria-lah yang memberi masukan tentang SEC rules dan telecomunication business rules kepada kita,” kata Kallman.

Informasi yang diterima Investor Indonesia menyebutkan, pernyataan GT International tersebut sebagai pernyataan tak bertanggung jawab dan mis-leading. Tak bertanggung jawab, karena pada saat manajemen TLKM meminta klarifikasi tentang status KAP Eddy Pianto, GT International sudah memberikan klarifikasi persis seperti surat yang disampaikan kepada Mirza Mochtar, direktur Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan.

Sedangkan, mis-leading, menurut Kallman, adalah karena memang begitulah adanya. GT International tidak bisa bertanggung jawab terhadap hasil audit orang lain, termasuk partnernya atau afiliasinya. Dalam kasus TLKM, GT International memang tak bisa bertanggung jawab terhadap hasil audit yang dilakukan KAP Eddy Pianto. “KAP Eddy Pianto-lah yang harus bertanggung jawab. Tapi GT International harusnya men-support terhadap KAP Eddy Pinato, yang menjadi afiliasi dari mitranya di Indonesia, yakni PT Grant Thornton Indonesia. Kalau tidak, buat apa ada kemitraan,” kata Kallman. Buat apa bayar fee kemitraan, juga mengikuti standar dan prosedur GT International.

Lalu, akankah Eddy Pianto dan/atau James S. Kallman akan menggugat GT International atau membiarkan ulah GT International itu, sambil memberi kesempatan kepada TLKM dan auditor yang baru ditunjuk, PwC menyelesaikan review audit LK TLKM on Form 20F, seperti yang diminta US SEC? (rizagana/bersambung)

Dipublis di Harian Investor Indonesia pada 7 Juli 2003


Manajemen Telkom Kurang Hati-hati
Kasus LK Telkom 2002, Kelalaian Manajemen? (2/habis)


Eddy Pianto Simon. Di kalangan auditor, namanya belum seterkenal Hans Tuanakota, Hendrawinata, atau Hadi Sutanto. Sejak awal Juni lalu, nama Eddy Pianto mencuat bersamaan dengan penolakan SEC (Securities and Exchange Commission), Bapepam Amerika Serikat terhadap Laporan Keuangan (LK) 2002 PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM).

“Saya sering dengar namanya, tetapi saya belum pernah bertemu. Saya tidak kenal dia. Teman-teman, saat saya tanya juga, mengaku tidak kenal,” kata seorang auditor senior yang sudah malang-melintang dalam bisnis audit di Indonesia selama 30 tahun lebih.

Eddy Pianto memiliki KAP yang bermarkas di Muara Karang, Jakarta. Salah seorang stafnya mengatakan, jumlah karyawan KAP Eddy Pianto ada cuma 15 orang. “Semuanya auditor,” katanya. Dengan jumlah tenaga audit segitu, KAP ini memiliki banyak pekerjaan audit. Diantaranya adalah PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk. (TKIM), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, (INKP). Kedua perusahaan ini listing di Bursa Efek Jakarta (BEJ).

Tetapi TLKM adalah perusahaan yang dual listing, baik di BEJ maupun di New York Stock Exchange (NYSE), yang aturannya jauh lebih rumit ketimbang aturan di bursa Indonesia. Selain itu, BUMN telekomunikasi itu termasuk besar dari segi aset dan market capitalization, memiliki kantor yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan pendapatan utama berasal dari pulsa yang dicatat secara computerize.

“Hebat. KAP Eddy Pianto bisa menerima pekerjaan mengaudit Telkom. Saya saja, yang memiliki 100 karyawan, tidak berani mengambil kerjaan itu. Karena pasti separo karyawan saya akan tersedot ke Telkom. Saya dengar, Earnst & Young dan HTM (Hans Tuanakota & Mustofa) saja menerjunkan tidak kurang dari 40 orang,” katanya.

Menurut auditor senior yang enggan disebut namanya, 90 persen pendapatan TLKM berasal dari pulsa. Seluruh pendapatan tersebut dicatat secara computerize, yang kantornya tersebar di seluruh tanah air. Selain membutuhkan tenaga besar, juga membutuhkan tenaga ahli kumputer. “Saya bisa mengerjakannya, tetapi sayang kalau harus mengabaikan kerja audit yang lain. Fee-nya, saya dengar, lumayan besar,” katanya. Menurut informasi yang diterima Investor Indonesia, fee untuk KAP Eddy Pianto mencapai Rp3 miliar.

Tidak Hati-hati

Itu baru dari segi besar dan rumitnya pekerjaan mengaudit LK TLKM, belum termasuk kompetensi KAP Eddy Pianto untuk mengaudit LK emiten yang tercatat di Bursa New York. Di pasar modal Indonesia, KAP Eddy Pianto yang sudah terdaftar di Bapepam dan Depkeu, hasil auditnya tak bermasalah. Tapi Bapepam AS (US SEC) memiliki aturan dan kriteria tersendiri bagi auditor yang bisa mengaudit LK emiten yang tercatat di NYSE.

Seorang akuntan senior tidak percaya KAP Eddy Pianto yang hanya memiliki tenaga kurang dari 20 orang bisa mengaudit LK TLKM 2002. “Dibantu oleh PT GTI adalah salah. Karena PT GTI bukan auditor firm, melainkan consulting firm. Auditor firm tidak menggunakan PT, tapi KAP,” katanya. Ada juga yang curiga, ada apa-apanya antara James S. Kallman, Eddy Pianto dengan Arief Arryman, ketua komite audit TLKM?

Seorang sumber lain menunjukkan, betapa Eddy Pianto dan manajemen TLKM tidak hati-hati dalam masalah ini. Dia menduga, manajemen TLKM sedang sibuk dengan lobi-lobi berkaitan dengan tarif dan lain sebagainya. “Betul awalnya, KAP Eddy Pianto adalah mitra GT International. Tetapi, ketika mendapat pemberitahuan dari GT International pada Desember bahwa kemitraan antara GT International dengan GT Indonesia dan Eddy Pianto akan putus dan efektif pada 31 Maret 2003, seharusnya manajemen Telkom bersikap: putus dengan Eddy Pianto. Lalu, lapor ke US SEC,” katanya.

Nyatanya, manajemen TLKM tetap kekeh melanjutkan KAP Eddy Pianto sebagai auditor dan Eddy Pianto juga tenang-tenang saja bekerja. Kalau Eddy Pianto dan PT GT Indonesia bertanggung jawab, harusnya mereka tahu diri. Itu pertama. Kedua pada sekitar Januari sampai Maret 2003, staf US SEC berencana datang ke Jakarta untuk memverifikasi KAP Eddy Pianto. “Sayang, selama kurun waktu Januari sampai Maret itu ada wabah SARS. Orang SEC tidak diperkenankan datang ke Jakarta,” katanya. Diingatkan, auditor firm yang akan mengaudit LK emiten yang listed di NYSE harus mengikuti proses internal control yang dilakukan oleh SEC.

Ketiga adalah, manajemen TLKM dua kali melakukan filing ke US SEC. “Pertama pada 15 April 2003 dengan letter head GT International. Lalu, ketika US SEC me-reject, manajemen TLKM menyusulkan filing kedua pada Juni 2003, dengan menyatakan, LK TLKM 2002 sebagai unaudited,” katanya. Untuk apa, manajemen TLKM melakukan filing kedua, kalau filing pertama sudah ditolak? Kenapa pula manajemen TLKM menyatakan, LK TLKM 2002 sebagai unaudited. “Mending tidak usah melakukan filing kedua itu,” katanya.

31 Orang, 30.000 Jam

Sayang manajemen TLKM dan komite audit TLKM tidak bersedia memberi keterangan. Eddy Pianto juga masih di Australia, dan belum kembali sejak kasus ini muncul.

Namun, James S. Kallman, presiden direktur PT Moores Rowland Indonesia (d/h PT Grant Thornton Indonesia), membantah keras dugaan yang tidak berdasar, bahwa ada kongkalikong antara James Kallman, Eddy Pianto dengan Arief Arryman, ketua Komite Audit TLKM. “Saya memang dekat dengan Bapak Arief Arryman. Tetapi kedekatan kami terjadi setelah kami menerima kerja audit Telkom. Sebelum kami dipercaya Telkom, saya tidak kenal dengan Bapak Arief Arryman,” katanya.

Mengenai kompetensi, Kallman juga tidak bosan-bosan menyakinkan bahwa KAP Eddy Pianto memiliki kompetensi untuk mengaudit laporan keuangan emiten yang listed di NYSE. Karena, seperti sudah dimuat dalam tulisan pertama, KAP Eddy Pianto adalah afiliasi PT GTI, sehingga GT International mengijinkan KAP itu untuk menggunakan letter head GT International.

Ketika menuntaskan kerja audit LK TLKM 2002, KAP Eddy Pianto dibantu oleh KAP Jimmy Budi sebagai pelaksana di lapangan. Menurut Kallman, pihaknya bahu-membahu merampungkan kerja audit TLKM sebelum pemutusan hubungan kemitraan dengan GT International yang berakhir efektif pada 31 Maret 2003. “Tiga puluh satu orang auditor diterjunkan. Kami bekerja selama 30.000 jam non stop selama empat bulan waktu yang diberikan kepada kami,” kata Kallman.

Itu berarti dengan waktu yang diberikan selama empat bulan, dan setiap bulan ada 25 hari kerja, maka setiap orang bekerja full selama 9,6 jam sehari. “Coba Anda bayangkan. Kami sangat serius mengerjakan tugas yang dipercayakan Telkom kepada kami,” katanya. Itu dilakukan untuk memenuhi tenggal waktu sampai 31 Maret 2003. Yakni, deadline penyampaian laporan keuangan audit. Tanggal itu, adalah batas waktu efektif putusnya hubungan kemitraan antara PT GTI dengan GT International. “Dan, kami bisa menyelesaikan audit itu pada 25 Maret 2003, sebelum kemitraan dengan GT International berakhir.”

Tentang press realese GT International, lanjut Kallman, PT GTI mencari bantuan dari GT Austria. “Pada sekitar bulan Januari 2003, GT Austria mengirimkan dua orang stafnya untuk membantu dan membimbing kami, terutama dalam hal US SEC rules dan telecomunication rules,” kata Kallman. Pria AS yang sudah 13 tahun tinggal di Indonesia ini tetap mendasarkan diri pada surat David McDonnell, Chief Executive Worldwide GT International yang dikirimkan kepada Mirza Mochtar (baca tulisan kemarin, red). Kenapa dalam press realese GT International pada 1 Juli lalu, GT International menyatakan tidak bertanggung jawab terhadap hasil audit KAP Eddy Pianto atas LK TLKM 2002?

Seorang sumber Investor Indonesia lain menyebutkan, ketika GT International memutus hubungan dengan PT GTI pada Desember 2002 dan efektif pada 31 Maret 2003, terjadi pertarungan seru di Pengadilan AS. “PT GTI habis-habisan disitu demi mempertahankan diri. Tapi akhirnya kalah, dan mitra GT International akhirnya jatuh kepada KAP Hendrawinata,” katanya. Apakah karena pertarungan di pengadilan itu, yang menyebabkan KAP Eddy Pianto (eks-afiliasi PT GTI) tidak mendapat dukungan saat filing Annual Report on Form 20F TLKM ke US SEC? “I don’t know. Nggak tau aku. Yang jelas perpisahan itu, pahit buat James Kallman,” katanya. (rizagana)

Dipublis di Harian Investor Indonesia pada 8 Juli 2003
Terus van.....

KPMG Terlibat Upaya Manipulasi Pajak

Senin, 7 Oktober 2002

dari koran Tempo

JAKARTA - Konsultan bisnis internasional, Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG) Consulting Inc., terlibat upaya manipulasi pajak senilai Rp 4,2 miliar di Indonesia. Akibat kasus ini, anak perusahaannya PT Barents Indonesia didenda Rp 2 miliar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Terungkapnya kasus ini berawal dari gugatan Inghie Kwik kepada Barents Indonesia yang telah mencopotnya sebagai direksi di perusahan konsultan itu. Inghie dipecat karena dirinya ngotot membayarkan tunggakan pajak, yang dianggap bukan kewenangannya.

Gugatan tersebut dilayangkan putra Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Kwik Kian Gie ini pada 31 Januari lalu. Atas gugatan tesebut, majelis hakim pengadilan yang diketuai IDG Putrajadnya pada 8 Agustus lalu telah mengeluarkan keputusan yang memenangkan gugatan Inghie.

Dalam salinan putusan pengadilan disebutkan bahwa Barents beserta komisaris Barents: Darwin Johnson dan Harvey Galper, telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Sebagai sanksinya, mereka diminta membayar ganti rugi Rp 2 miliar kepada Inghie. Citibank yang telah memblokir rekening Barents juga dinyatakan bersalah dan diminta membayar Rp 5 ribu. Atas keputusan ini, para tergugat telah menyatakan banding.

Berdasarkan dokumen otentik pengadilan yang diperoleh Koran Tempo, diketahui bahwa gugatan Inghie ke Barents sesungguhnya dilatarbelakangi upaya manipulasi pajak oleh KPMG Consulting Inc. (AS), induk Barents.

Menurut laporan CK Liew, konsultan pajak pada kantor akuntan publik KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono, Barents memiliki tunggakan pajak Rp 4,2 miliar untuk tahun buku 1999-2001.

Beban pajak itu berasal dari pendapatan Barents sebagai konsultan dalam proyek Bank Danamon, Bank Mandiri, Lippo, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Chase, dan Asbin selama Agustus 1999 hingga Mei 2001 yang totalnya mencapai US$ 2,06 juta (Rp 18,5 miliar).

Berdasarkan ketentuan perpajakan, Barents Indonesia seharusnya menyetorkan pajak sebesar 20 persen dari fee yang diterimanya. Sebab, pekerjaan itu kenyataannya dilakukan oleh para pekerja asing dari Barents LLC (AS) dan KPMG Consulting yang berbasis di Boston (AS).

Menurut kalkulasi Liew, pajak yang harus dibayarkan Barents mencapai Rp 3,4 miliar. Jika ditambah denda tunggakan Rp 767 juta, totalnya menjadi Rp 4,2 miliar.

CK Liew mengirimkan laporan itu melalui suratnya ke Inghie pada 14 Juni 2001, setelah Inghie diminta kembali aktif di Barents Indonesia. Sebelumnya, Barents sempat tak beroperasi akibat krisis ekonomi pada 1997. Namun, kemudian kembali dioperasikan setelah Barents LLC diakuisisi KPMG pada 1998 lalu.

Menanggapi laporan ini, Inghie dalam surat elektronik yang dikirimkan kepada Direktur Pajak Perusahaan KPMG Consulting James S. Kavanah meminta agar pajak segera dibayarkan. Namun, Kavanah menolak.

Dari Liew dan Presiden Direktur Barents Indonesia Michael Morris, Inghie bahkan mendapat informasi adanya pertimbangan untuk membuat pembukuan baru dan merekayasa biaya konsultan seolah-olah untuk staf lokal. "Memang bisa menurunkan pajak, tapi ini ilegal," kata Inghie dalam suratnya ke Kavanah.

Sehubungan dengan itu, Inghie tetap membayarkan pajak pada 10 Juli dan 16 Agustus 2001, masing-masing Rp 2,3 miliar dan Rp 1,14 miliar. Akibatnya, Inghie dipecat karena dianggap menyalahi kewenangannya.

Ketika dimintai konfirmasinya, Inghie membenarkan soal gugatannya, meski, "Saya tidak mau berkomentar dulu," ujarnya. Partner senior kantor akuntan KPMG-Siddharta, Achmadi Hadibroto, juga menolak berkomentar. "Untuk masalah itu, saya no comment," kata Ketua Ikatan Akuntan Indonesia ini kepada Tempo News Room.

Secara terpisah, Subani dan Mohamadiantoro dari kantor hukum Amir Syamsuddin & Partners, kuasa hukum Barents, menyatakan bahwa kewajiban pajak Barents kini telah dilunasi. "Orang-orang asing itu patuh pada kewajibannya," katanya.

Namun, keduanya mengaku tidak tahu soal adanya upaya rekayasa pajak dan keterlibatan staf asing. "Oh... kalau itu saya tidak tahu." Yang jelas, tuturnya, berbagai surat elektronik yang diserahkan Inghie ke pengadilan tidak bisa dijadikan bukti hukum. metta dharmasaputra/yura syahrul-tnr

Batu Sandungan Kedua

September tahun lalu, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono harus menanggung malu. Kantor akuntan publik ternama ini terbukti menyogok aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat, diterbitkan faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York.

Berkat aksi sogok ini, kewajiban pajak Easman memang susut drastis. Dari semula US$ 3,2 juta menjadi hanya US$ 270 ribu. Namun, Penasihat Anti Suap Baker rupanya was-was dengan polah anak perusahaannya. Maka, ketimbang menanggung risiko lebih besar, Baker melaporkan secara suka rela kasus ini dan memecat eksekutifnya.

Badan pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange Commission, menjeratnya dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang anti korupsi buat perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja Baker dan KPMG terseret ke pengadilan distrik Texas. Namun, karena Baker mohon ampun, kasus ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. KPMG pun terselamatan. metta
Terus van.....