Minggu, 01 Juni 2008

Pertarungan Auditor Firm dalam Kasus Telkom (1)


dari http://rzagana.blogspot.com/

SEC Tak Menyanggah Interpretasi Eddy Pianto

PricewaterHouseCoopers (PwC) hampir merampungkan review atas Laporan Keuangan (LK) PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) 2002, setelah hasil kerja auditor sebelumnya, Kantor Akuntan Publik (KAP) Eddy Pianto Simon, ditolak oleh Komisi Sekuritas dan Bursa AS (US SEC). “Mudah-mudahan selesai sesuai target, pertengahan September ini,” kata Arief Ariman, Ketua Komite Audit Telkom kepada Investor Indonesia di Jakarta, pekan lalu.


Eddy Pianto, cuek saja. Sejak Bapepam AS menolak hasil auditnya terhadap LK Telkom, ia lebih banyak berada di luar negeri. Anak buahnya yang berkantor di Muara Karang, Jakarta tidak tahu, apa yang dikerjakan Eddy di Australia. Sekondannya, eksekutif PT Moores Rowland Indonesia (d/h PT Grant Thornton Indonesia), mulai bingung.

“Nggak tau deh, kenapa Eddy sering banget ke Australia. Seharusnya, dia memperjuangkan nama baiknya yang sudah tercemar akibat kasus Telkom ini. Kan, dia sudah mengirim pengaduan ke IAI (Ikatan Akuntan Indonesia, red),” kata seorang eksekutif PT MRI. “Buat kita sih, nothing to loose. Karena partner kita sekarang kan bukan dia lagi, tetapi KAP Jimmy Budi,” tambahnya.

Memang, pada 16 Juli lalu, Eddy mengirim surat ke Ketua IAI, Achmadi Hadibroto. Surat itu perihal “Pengaduan atas perlakuan tidak sehat yang diterima KAP Drs Eddy Pianto (EP) dari KAP Drs Hadi Sutanto (HP)”. Nama KAP yang disebut terakhir tak lain adalah partner PwC, sedangkan EP–ketika itu adalah partner Grant Thornton.

Dalam surat setebal lima halaman itu, Eddy menjlentrehkan kronologi kasus yang membuat namanya tercemar. “...kami, EP telah menjadi pihak yang mengalami kerugian, baik moril maupun materil yang diakibatkan, baik langsung maupun tidak langsung akibat penolakan (LK Telkom 2002 oleh US SEC, red) tersebut,” tulis Eddy tentang perlakuan tidak sehat HS itu.

Seorang akuntan senior membisikkan kepada Investor Indonesia, “bung, (kasus Telkom) ini pertarungan antara dua KAP besar.” Siapa lagi yang dimaksud, kalau bukan antara Grant Thornton (GT) dengan PwC. GT adalah auditor firm masuk dalam jajaran nomor tujuh dunia. Sedangkan, PwC masuk dalam jajaran the big four.

Tukar-menukar Dokumen

Awalnya, ketika menerima penugasan sebagai auditor PT Telkom (2002), tak ada persoalan yang dialami EP. Termasuk dengan HS, yang pada saat bersamaan menjadi auditor PT Tekomsel (anak perusahaan Telkom). Pada Januari dan Februari 2003, kedua belah pihak saling komunikasi, dan tukar-menukar dokumen. EP mengirimkan Audit Instructions kepada HS. Sebaliknya, HS mengirimkan laporan-laporan yang diminta EP sesuai Audit Instructions. HS juga mengirim dokumen yang menyatakan, sebagai auditor Telkomsel, HS independen.

Pada 17 Maret 2003, EP memberi tahu HS bahwa laporan audit Telkom akan dikeluarkan pada 25 Maret 2003. EP menyatakan akan melakukan reference terhadap hasil audit Telkomsel. Disinilah, hubungan EP dan HS kelihatan tidak sehat. Menjawab surat EP itu, HS menyatakan, tidak memberi izin kepada EP untuk me-refer hasil auditnya atas Telkomsel.

Anehnya, pada 25 Maret 2003, HS mengirimkan copy audit report Telkomsel untuk dikonsolidasikan ke LK Telkom. Dalam surat pengantarnya, HS menyatakan, “At the date of this letter, we fully stand behind our opinion as far as they relate to the financial statements of Telkomsel for the year ended December 31, 2002.” Pada surat tersebut, HS sama sekali tidak menyebut kata-kata yang tidak mengizinkan EP menggunakan hasil auditnya atas Telkomsel sebagai acuan dalam LK Telkom konsolidasi.

Namun, pada tanggal 31 Maret, HS kembali menegaskan surat tanggal 24 Maret. HS juga mengirim surat yang bernada sama kepada Presiden Komisaris dan Ketua Komite Audit Telkomsel, pada 9 April. “AU 543 para 10 (c) (i) also makes it clear that the principal auditor (KAP Eddy Pianto, red) should have our permission before referring to our audit report on PT Telkomsel in their own audit report on Telkom,” tulis HS.

Salah Tafsir atas AU 543

Perihal surat-surat tersebut, kepada Ketua IAI, Eddy memberi dua catatan. Pertama, HS melakukan miss-interpretation atas United State Auditing Standard AU 543 (AU 543), yakni para 10 (c) (i), yang menjadi dasar penolakan HS memberi izin kepada EP. Aturan SEC itu berbunyi, (10) Whether or not the principal auditor decides to make reference to the audit of the other auditor, he should make inquiries.... These inquiries and other measures may include such as the following: (c) Ascertain through communication with the other auditor: (i) that he is aware that the financial statements of the components he is auditing are to be included in the financial statements on which the principal auditor will report and that the other auditors report will be relied upon (and referred to) by the principal auditor.

Jelas, kata Eddy, AU 543 sebenarnya memperbolehkan EP untuk mengacu kepada opini HS tanpa perlu izin. “Kami mempunyai keyakinan bahwa HS telah menginterpretasikan AU 543 secara keliru, yang mengakibatkan keputusan SEC yang merugikan Telkom,” kata Eddy. AU 543, seperti halnya Standar Pemeriksaan Akuntan Publik (PSA 543), tidak mengharuskan EP minta izin, melainkan cukup mengkomunikasikannya saja. Izin dari auditor perusahaan anak dibutuhkan, bilamana nama auditor dicantumkan dalam LK konsolidasi.

Kedua, HS dalam suratnya tanggal 31 Maret, mencampuradukkan antara “izin agar EP dapat mengacu pekerjaan HS” dengan “izin agar Telkom dapat memasukkan opini HS di dalam laporan 20-F”. Dalam surat tanggal 31 Maret, HS menyatakan, izin tersebut berhubungan dengan laporan Form 20-F. Padahal, akuntan tahu, izin untuk Form 20-F seharusnya ditujukan kepada manajemen Telkom, bukan kepada auditornya, EP. Kenapa surat tertanggal 31 Maret itu ditujukan kepada EP, kalau bukan memberi izin kepada EP untuk menggunakan hasil audit HS sebagai acuan dalam memberikan opini pada LK Telkom 2002 (audited)?

Tetapi, karena surat HS tanggal 24 Maret –yang menolak memberi izin-- itulah, pada 5 Juni, SEC mengirim surat kepada manajemen Telkom. Isinya, antara lain menyatakan, karena tidak ada izin dari HS, seharusnya EP melakukan qualifikasi atau disclaimer terhadap LK Telkom 2002. SEC juga menyatakan, EP tidak mendemonstrasikan kompetensinya dalam menerapkan US GAAS. Karena alasan itu, SEC menolak laporan Form 20-F.

Keputusan SEC itu membuat Eddy dan partnernya Grant Thornton Indonesia bingung. Karena, sebelum mengirim surat ke manajemen Telkom itu, SEC sudah minta dilakukan credentialling review terhadap EP, pada 22 Mei. Heinz & Associates LLP dari Denver, Colorado, AS ditunjuk sebagai pelaksana. Dan, Heinz berkesimpulan: “We found the firm’s (KAP Eddy Pianto) conclusion in connection with this matter (US GAAS AU Section 543) to have merit and generally consistent with practices we have observed by other auditing firm.”

Konspirasi Tingkat Tinggi

Inilah yang kemudian menyiratkan ada konspirasi tingkat tinggi dalam kasus Telkom ini, yang melibatkan pejabat SEC dan pejabat PwC. Apalagi, kemudian diketahui, Telkom akhirnya menunjuk PwC untuk melakukan review atas audit yang dilakukan EP. Pejabat SEC yang menangani Telkom adalah Craig C. Olinger, Deputy Chief Accountant SEC. Dia adalah bekas anak buah Wayne Carnall, yang kini menjadi Senior Executive PwC.

Tetapi Eddy tidak peduli dengan sinyalemen itu. Pada 21 Juni 2003, Eddy mengirim surat ke SEC untuk menjelaskan interpretasi yang benar atas AU 543. Pada 25 Juni, Eddy melanjutkan teleconference dengan SEC. Dalam teleconference itu, tidak ada sanggahan dari SEC mengenai interpretasi Eddy atas AU 543. Tetapi SEC kadung menolak laporan Form 20-F Telkom, dan manajemen Telkom sudah terlanjur menyatakan, (pada 11 Juni) LK Telkom 2002 sebagai unaudited, serta menunjuk PwC (HS) sebagai auditor untuk me-review LK Telkom 2002.

Sebagai jalan terakhir, pada 16 Juli mengadu ke IAI. “Kejadian itu juga telah merusak nama baik EP dan secara serius dapat mengganggu kelangsungan usaha EP,” kata Eddy. Eddy berharap IAI meneliti kasus ini, dan minta IAI menghukum HS, bila kelak terbukti salah. Yakni merehabilitasi nama EP, termasuk mengumumkan ke media massa nasional, ke Ditjen Lembaga Keuangan, dan Bapepam. Lalu, apa tanggapan pihak IAI dan Bapepam –juga mendapat tembusan surat EP ke IAI-- yang telah mensuspen KAP Eddy Pianto?

Korespondensi antar KAP

20 Januari 2003: EP mengirim Audit Instructions kepada HS, yang mencakup ketentuan-ketentuan AU 543 atau PSA 543. HS memberi konfirmasi tertulis bahwa Audit Instructions telah diterima;

19 Februari 2003: HS mengirimkan laporan yang diminta EP sesuai Audit Instructions, termasuk dokumen yang menyatakan bahwa HS independen;

17 Maret 2003: EP mengirim surat ke HS akan melakukan reference terhadap audit yang dilakukan HS di Telkomsel. Laporan audit (Telkom) direncanakan keluar pada tanggal 25 Maret 2003;

24 Maret 2003: HS membalas surat ke EP 17 Maret 2003. HS menyatakan, tidak memberi izin kepada EP untuk menggunakan opininya atas LK 2002 (audited) Telkomsel untuk dijadikan acuan dalam LK 2002 (audited) Telkom;

25 Maret 2003: HS mengirimkan copy dari audit report Telkomsel untuk dikonsolidasikan ke Telkom. Dalam surat pengantarnya, HS menyatakan, “At the date of this letter, we fully stand behind our opinion as far as they relate to the financial statements of Telkomsel for the year ended December 31, 2002.”

31 Maret 2003: HS kembali mengingatkan EP bahwa HS tidak mengizinkan EP menggunakan opini atas LK 2002 (audited) Telkomsel dalam Form 20 F dari LK Telkom 2002.

9 April 2003: HS mengirim surat ke Preskom dan Ketua Komite Audit Telkomsel, menjelaskan keputusannya tidak memberi izin kepada EP menggunakan opini audit LK 2002 Telkomsel. Bahwa tindakan itu telah sesuai dengan AU 543.

Pada 22 Mei 2003: SEC menyetujui dilakukannya credentialling review terhadap EP sehubungan pelaksanaan AU 543. Heinz & Associates LLP dari Denver, Colorado, AS ditunjuk sebagai pelaksana.. Kesimpulan Heinz & Associates LLP adalah: “We found the firm’s (KAP Eddy Pianto) conclusion in connection with this matter (US GAAS AU Section 543) to have merit and generally consistent with practices we have observed by other auditing firm.”

5 Juni 2003: SEC mengirim surat kepada Telkom. SEC menyatakan, EP tidak mendemonstrasikan kompetensinya dalam menerapkan US GAAS, dan karenanya SEC menolak laporan 20-F Telkom.

21 Juni 2003: EP mengirim surat ke SEC untuk menjelaskan mengenai interpretasi yang benar atas AU 543.

Pada 25 Juni 2003: EP melakukan teleconference dengan SEC, juga untuk menjelaskan mengenai interpretasi yang benar atas AU 543. Dalam diskusi itu, tidak ada sanggahan dari SEC mengenai interpretasi yang disampaikan Eddy Pianto.
(rizagana/mangku)

Dipublis di Harian Investor Indonesia pada 7 September 2003

Pertarungan Auditor Firm dalam Kasus Telkom (2/habis)

HS Sudah Klarifikasi ke BP2AP

Adalah sikap bodoh, bila mempercayai akuntan dari luar negeri sebagai yang nomor satu kualifkasinya. Sebab, mereka juga tidak bersih dari tindakan merekayasa laporan keuangan.

Begitulah, kira-kira kalimat yang diucapkan Presiden Megawati Soekarnoputri saat membuka Kongres IX Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) di Jakarta, September, tahun lalu. Semua tahu, skandal laporan keuangan paling spektakuler terjadi di Amerika Serikat (AS), negara yang dikenal sangat menjunjung tinggi keterbukaan, mengagungkan transparansi, dan memosisikan diri sebagai kampiun good corporate governance. Sebut saja kasus Enron, Tyco, Dynegy, WorldCom, Xerox, Merck, dan beberapa kasus lainnya.

Erry Riyana Hardjapamekas, pengurus teras IAI, dalam sebuah tulisannya di Majalah Tempo, beberapa waktu lalu, berpendapat: “sulit dipercaya bahwa kejadian (di AS, red) itu merupakan kealpaan prosedur audit, apalagi kekeliruan teknis pembukuan. Sangat kuat persepsi publik bahwa skandal itu merupakan buah dari sebuah desain yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang cerdas dengan pengetahuan dan ketrampilan tingkat tinggi, tentu dengan semangat kolusi berjamaah.”

Singkat cerita, kata Erry, skandal (yang terjadi di AS, dan mungkin yang terjadi di Indonesia) itu bukan lagi sebuah kecelakaan bisnis, melainkan salah satu perwujudan keserakahan.

Kasus Telkom, tentu tidak sama dengan Enron dan skandal akuntansi di AS lainnya. Dari surat pengaduan KAP Eddy Pianto kepada IAI tentang perlakuan tidak sehat dari KAP Hadi Sutanto (PwC), bukanlah skandal rekayasa laporan keuangan. Tetapi, apakah kasus perseteruan dua KAP yang mengaudit Telkom itu merupakan salah satu perwujudan keserakahan, seperti ditulis Erry Riyana, pengurus IAI, itu?

Yang jelas, bagi Eddy, perlakuan tidak sehat dari KAP Hadi Sutanto (HS) bukan hanya merugikan Telkom dan namanya, tetapi juga menyangkut kelangsungan usahanya, KAP Eddy Pianto (EP). Ini pula yang dituntut Eddy kepada organisasi profesi, IAI. Yakni, demi membersihkan namanya, bukan hanya kepada Bapepam, DJLK dan perusahaan yang bakal menggunakan jasa auditnya, tetapi kepada masyarakat luas.

Menunggu BP2AP

Sudah hampir dua bulan, Eddy Pianto mengirimkan surat pengaduan ke organisasi yang membawahi profesi akuntan, IAI, itu. Achmadi Hadibroto, Ketua Umum IAI menyerahkan penyelesaian masalah pengaduan KAP Eddy Pianto (EP) sepenuhnya kepada BP2AP (Badan Peradilan dan Pemeriksaan Akuntan Publik). “Kalau ada perselisihan profesi menjadi wewenang BP2AP,” kata Achmadi, yang sebelum menjadi ketua umum IAI sempat memimpin BP2AP.

Rusdi Daryono, ketua BP2AP, mengatakan, lembaganya tengah menangani pengaduan EP tersebut. Pihaknya kini masih mempelajari, dan mengumumpulkan informasi, untuk kemudian membahasnya. “Pihak KAP Hadi Sutanto (PwC) sudah memberikan klarifikasi kepada kita,” kata Rusdi, yang juga akuntan dari KAP Hans Tuanakotta & Mustofa (partner Deloitte Touche Tohmatsu).

Sayangnya Rusdi tidak menjelaskan isi klarifikasi dari HS itu. Ia juga belum bisa memberikan gambaran yang lengkap tentang kasus perseteruan antara dua KAP, yang menjadi anggota IAI itu. Karena itu, kata Rusdi, penanganan masalah tersebut kemungkinan agak lambat. Bukan hanya soal kasusnya, tetapi juga perlu memanggil kedua belah pihak yang berseteru, untuk kemudian dilakukan pengkajian.

Hariyanto Sahari, Senior Partner HS, setelah berkali-kali dihuubngi dan ditemui Investor Indonesia akhirnya mau juga buka suara. “Kita sudah berikan klarifikasi mengenai pengaduan tersebut kepada BP2AP,” kata Hariyanto. Sayangnya, Hariyanto yang memang menangani laporan keuangan Telkomsel, anak perusahaan Telkom, dan tugas me-review laporan keuangan Telkom 2002, tidak menyebutkan, klarifikasi macam apa yang diberikan kepada BP2AP. Sehingga tidak diperoleh jawaban dari HS tentang semua tuduhan Eddy dalam surat pengaduannya kepada IAI pada 16 Juli lalu (tulisan pertama).

Menurut Hariyanto, pengaduan sesama anggota IAI sebagai hal yang lumrah. “Hal tersebut boleh saja dilakukan antara sesama akuntan anggota IAI,” katanya. Dan, penyelesaiannya kini sudah di tangan BP2AP. “Saat ini, kita masih menunggu tanggapan IAI (BP2AP, red) mengenai klarifikasi yang sudah diberikan,” katanya.

Namun, Rusdi Daryono, ketua BP2AP belum bisa memastikan dan belum memiliki gambaran, kapan kasus ini bakal selesai. Yang jelas, lanjut Rusdi, BP2AP berusaha untuk sesegera mungkin menyelesaikan kasus ini. Kemudian, hasilnya diserahkan ke kompartemen Akuntan Publik di IAI. “Nanti, hasilnya akan diumumkan di kompartemen IAI,” katanya.

Sementara itu, Ketua Majelis Kehormatan IAI, Kanaka Puradiredja masih menunggu hasil pemeriksaan BP2AP terkait pengaduan EP. Ia belum tahu secara persis isi pengaduan salah satu anggotanya itu.

Hasil pemeriksaan BP2AP, menurut Kanaka, sangat penting, karena akan menjadi acuan bagi lembaga lain, seperti Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) dan Direktorat Pembinaan Akuntan Publik dan Jasa Penilai, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK), Departemen Keuangan (Depkeu) mengambil keputusan. Kedua lembaga itu memang berwenang mengawasi akuntan publik. “Sebaiknya kedua lembaga itu menunggu hasil pemeriksaan organisasi profesi, agar tidak terjadi tumpang tindih,” kata Kanaka.

Bapepam Terus Periksa

Abraham Bastari, Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan (PP) Bapepam berpendapat, antara IAI, DJLK Depkeu serta Bapepam tidak saling terkait. “Kalau etika antar profesi tentu arahnya ke IAI,” kata Abraham. DJLK adalah lembaga yang bertugas melakukan pembinaan terhadap akuntan publik yang beroperasi di Indonesia. DJLK-lah yang akan mencermati proses audit yang dilakukan kantor akuntan publik yang sudah terdaftar, seperti EP. Sementara Bapepam melakukan pengawasan, khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran di bidang pasar modal.

“Jadi pemeriksaan terhadap KAP Eddy Pianto jalan terus, meski ada surat Eddy Pianto yang mengadukan PwC kepada IAI,” kata Abraham. Seperti diketahui, ketika kasus laporan keuangan Telkom ditolak SEC, Bapepam langsung menghentikan sementara kegiatan KAP Eddy Pianto --yang sudah terdaftar di Bapepam-- untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan publik di Indonesia. Setelah disuspen, Bapepam baru melakukan pemeriksaan.

Menurut Abraham, langkah EP mengadukan HP (partner PwC) ke IAI tidak terkait dengan pelaksanaan atau pelanggaran di bidang pasar modal. “Pengaduan itu adalah masalah (kode etik) profesi,” tegasnya. Sedangkan yang sedang diteliti dan diperiksa Bapepam adalah berkaitan dengan kompetensi EP mengaudit Telkom, perusahaan yang listing di Bursa Efek Jakarta.

Meski begitu, masih kata Abraham, Bapepam akan mengakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk dengan IAI dan DJLK. Biro PP sudah menyurati DJLK dan IAI dalam upaya mengumpulkan informasi. “Kita kumpulkan semua informasi yang terkait dengan Eddy Pianto,” jelasnya.

Eddy Pianto sangat berharap kasusnya segera diselesaikan, baik di Bapepam maupun di IAI, karena menyangkut kelangsungan usaha bisnisnya. Publik juga berharap, IAI dan Bapepam bisa menuntaskan kasus ini segera. Bukan hanya menyangkut KAP Eddy Pianto dan KAP Hadi Sutanto, melainkan profesi akuntan, yang –kata Erry Riyana Hardjapamekas dalam kolomnya di Majalah Tempo beberapa waktu lalu— nyawanya adalah kepercayaan publik.

Bermodal kepercayaan publik itulah, akuntan publik diberi “hak istimewa” untuk melakukan fungsi atestasi (pengecekan). Atas nama kepercayaan publik pula, mereka berhak menerima bayaran, sebagai imbalan atas independensi, obyektivitas, dan kompetensi profesionalnya. Maka hak hidup akuntan publik harus hilang, dan hak atas imbalan itu menjadi haram, ketika mereka kehilangan independensi, obyektivitas, apalagi profesionalismenya. (rizagana/emir/mangku)

Dipublis di Harian Investor Indonesia pada 8 September 2003

Tidak ada komentar: