Minggu, 01 Juni 2008

Dipilih, Karena Mitra GrantThornton

DARI http://rzagana.blogspot.com

Kasus LK Telkom 2002, Kelalaian Manajemen? (bagian 1)

RUPS Luar Biasa TLKM pada Juli 2002, para pemegang saham meminta manajemen baru TLKM yang dipimpin Kristiono memilih salah satu auditor the big five dunia. Yakni, Earnst & Young (E&Y), PricewaterHouseCoopers (PwC), Klynveld Peat Marwick Goerdeler (KPMG), dan Delloite & Touche. Arthur Anderson sudah keburu tutup akibat kasus Enron Corporation, sehingga tinggal big four.

Sumber Investor Indonesia di TLKM menyebutkan, Komite Audit yang dipimpin Arief Arryman, Komisaris Independen TLKM, langsung menyiapkan proses tender. Tahap pertama adalah mengirim surat ke empat auditor terbesar dunia itu untuk menanyakan kesediaan mereka mengikuti tender, sekaligus mengkonfirmasi apakah ada conflict of interest. “KPMG langsung membalas, dan mengatakan pihaknya ada conflict,” katanya.


Waktu itu, ada masalah dalam penanganan KSO (Kerjasama Operasi) III Telkom dengan PT Aria West. Sehingga kasusnya dibawa ke arbitrase internasional. Masing-masing lawyer yang ditujuk kedua belah pihak menunjuk financial expert. Pihak Aria West menujuk PwC, sedangkan pihak TLKM menunjuk KPMG. Disini conflict of interst itu. “Baik KPMG maupun PwC ada conflict,” katanya.

Tinggal dua Delloite dan E&Y. Manajemen Telkom ternyata tak bisa memilih Delloite & Touche, yang di Indonesia berpartner dengan Hans Tuanakota & Mustofa (HTM). Karena HTM (yang baru saja menggandeng partner baru, Halim), saat itu sedang mendapat perhatian serius dari pemerintah, khususnya kantor Meneg BUMN, berkaitan dengan kasus PT Kimia Farma Tbk (KAEF). “Kita tidak bisa memilih HTM Delloite,” katanya.

E&Y Mundur

Akhirnya manajemen menjatuhkan pilihan pada E&Y. Keputusan itu keluar pada September 2002. E&Y langsung menyiapkan tenaganya untuk ditempatkan di TLKM. Tetapi, pada November 2002, E&Y tiba-tiba mengundurkan diri, karena menyadari ada potensi conflict di TLKM. “Sebuah keputusan yang sulit, yang mau tidak mau harus diterima manajemen,” katanya.

Mundurnya E&Y itu berkaitan dengan keputusan US SEC, yang mensyaratkan agar auditor sebuah emiten yang tercatat di NYSE tidak melakukan pekerjaan non auditor pada perusahaan yang diauditnya. Misalnya, auditor yang ditunjuk mengaudit LK TLKM, tidak diperkenankan melakukan perhitungan pajak atau melakukan valuasi dalam sebuah transaksi di dalam tubuh TLKM. “Itu berarti auditor tersebut tidak independen. Inilah yang membuat E&Y mundur,” katanya.

Saat itu November 2002. Waktu semakin sempit bagi TLKM untuk menunjuk auditor. Auditor the big four yang diminta para pemegang saham dalam RUPS jelas tidak bisa dipenuhi. “Manajemen akhirnya memutuskan untuk mencari auditor yang masuk enam atau tujuh besar dunia. Yakni BDO Seidman (Belanda) dan Grant Thornton GT),” katanya.

Manajemen langsung mencari tahu auditor firm nomor enam dan tujuh dunia itu. “BDO Seidman mengatakan tidak bisa, karena ada conflict. Saat itu BDO Seidman sedang melakukan pekerjaan valuasi di Telkom. Sehingga pilihan tinggal satu, yakni Grant Thornton,” katanya. Tetapi manajemen tidak langsung memutuskan untuk memilih GT, karena pada waktu itu partner lokal GT di Indonesia ada dua, yakni GT Hendrawinata dan PT Grant Thornton Indonesia (GTI), yang memiliki afiliasi dengan KAP Eddy Pianto Simon.

“Kita tanya GT Hendrawinata, apakah bersedia mengaudit laporan keuangan Telkom. Seketika itu juga dapat jawaban, tidak bersedia. Kita tak bisa memaksakan seseorang mau kerja dengan kita,” katanya. Pada waktu itu, Departemen Keuangan mengeluarkan rilis, yang mengumumkan Hendrawinata kena suspend. “Ini semakin membuat kita tak bisa memilih KAP GT Hendrawinata,” katanya. Investor Indonesia juga memiliki copy Salinan Keputusan Menkeu No.KEP-259/KM.6/2002 tentang Pembekuan Izin Akuntan Publik Drs Arief Hendra Winata selama enam bulan, yang ditetapkan pada 4 November 2002.

Mengenai SK Menkeu tentang pembekuan ijin akuntan publik tersebut, Arief Hendra Winata membenarkan. Ia juga membenarkan, telah dihubungi pihak TLKM untuk diminta menjadi auditor TLKM. “Saya dihubungi per telepon, dan saya langsung bilang, tidak bersedia,” kata Arief Hendra Winata kepada Investor Indonesia di Jakarta, pekan lalu.

Akhirnya pilihannya tinggal satu, yakni partner GT lain yang ada di Indonesia. Yakni KAP Eddy Pianto. Sebelum memutuskan KAP Eddy Pianto sebagai auditor yang akan mengaudit LK TLKM, manajemen tetap mencari tahu apakah KAP Eddy Pianto memiliki kompentensi untuk mengaudit LK TLKM. Khususnya yang berkaitan dengan posisi TLKM yang sudah listing di NYSE. “Kita kirim surat ke GT International yang bermarkas di AS. Dan langsung ada jawaban bahwa benar KAP Eddy Pianto adalah afiliasi PT GTI, dan PT GTI adalah partner GT International,” katanya.

GT International Comfirm

Keputusan memilih KAP Eddy Pianto sangat cepat. Yakni pada November juga, tidak berselang lama dari E&Y mundur. Itu pun dilakukan setelah mendapat klarifikasi dari GT International tentang kedudukan KAP Eddy Pianto Grant Thornton. Investor Indonesia juga mendapat copy surat dari GT International yang ditujukan kepada Mirza Mochtar, direktur Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan.

Dalam surat tertanggal 8 Oktober 2001 itu, David McDonnell, Chief Executive Worldwide GT International menulis, “we confirm that PT Grant Thornton Indonesia is a full member firm of Grant Thornton International. Eddie Pianto, Public Accounting Firm, is in association with PT Grant Thornton Indonesa and, through this association, is audhotised to carry out audit work on behalf of Grant Thornton, in accordance with Grant Thornton standards and procedures.”

Itu berarti orang nomor satu di GT International mengkonfirmasi bahwa PT GTI adalah anggota penuh GT International. KAP Eddy Pianto adalah mitra PT GTI, yang karenanya diijinkan melakukan kerja audit atas nama GT, asal sesuai dengan standar dan prosedur GT. Lagi, dalam pengumuman GT International di salah satu media ibukota, lewat Gabriel Azedo, GT International lagi-lagi menyebut adanya hubungan kemitraannya dengan KAP Eddy Pianto.

“Grant Thornton International and PT Grant Thornton Indonesia & Eddy Pianto, Registered Public Accountants, have announced a mutual separation effective at the close of business on 31 March 2003. Grant Thornton International will, effective upon the close of business on 31 March 2003, be represented in Indonesia onlu bu Grant Thornton Hendrawinata which, since 1995, has been one of its current member firms in Indonesia...”

Tapi kenapa GT kemudian mencabut dukungannya kepada KAP Eddy Pianto, pada saat KAP itu mengaudit LK TLKM? Inilah pertanyaan utama dari munculnya kasus LK TLKM. Karena pencabutan dukungan dari GT International itu pula, LK TLKM akhirnya ditolak oleh US SEC.

Terlebih lagi, setelah keluar press realese dari GT International pekan lalu melalui partner lokalnya GT Hendrawinata. Dalam rilis tersebut, GT International tak berpartisipasi dalam mengaudit LK TLKM 2002. Dan karena itu GT International tak bertanggung jawab terhadap hasil audit KAP Eddy Pianto terhadap LK TLKM 2002. Pasalnya, GT International pada Desember 2002 sudah menginformasikan kepada PT GTI, KAP Eddy Pianto, dan Komite Audit TLKM bahwa hubungan kemitraan GT International dengan PT GTI sudah berakhir, dan efektif pada tanggal 31 Maret 2003.

Tak Bertanggung jawab

Kristiono, Dirut TLKM, seperti sudah diberitakan harian ini beberapa waktu lalu, mengaku heran dengan rilis GT International itu. “Kenapa dia (GT International) mencabut dukungan setelah proses audit berjalan, tidak sebelum penunjukan?” kata Kristiono.

Kristiono bingung. James S. Kallman, Presdir PT Moores Rowland Indonesia (d/h PT Grant Thornton Indonesia) lebih bingung lagi. Sebab, perjanjian kemitraan antara GT International dengan PT GTI jelas disebutkan, PT GTI dan afiliasinya, KAP Eddy Pianto bisa menggunakan letter head GT International. “Tetapi kenapa dia (GT International) tidak mau memberi support, ketika KAP Eddy Pianto sedang menyelesaikan tugasnya? Aneh kan?” kata Kallman.

Kallman mengaku, GT International mencabut dukungannya pada Desember 2002. Karena itu, PT GTI langsung minta bantuan dari mitra GT yang ada di Austra. Waktu itu, sekitar dua orang GT Austria datang ke Jakarta untuk memberikan support kepada KAP Eddy Pianto. “Kalau tidak salah pada Januari 2003. Orang GT Austria-lah yang memberi masukan tentang SEC rules dan telecomunication business rules kepada kita,” kata Kallman.

Informasi yang diterima Investor Indonesia menyebutkan, pernyataan GT International tersebut sebagai pernyataan tak bertanggung jawab dan mis-leading. Tak bertanggung jawab, karena pada saat manajemen TLKM meminta klarifikasi tentang status KAP Eddy Pianto, GT International sudah memberikan klarifikasi persis seperti surat yang disampaikan kepada Mirza Mochtar, direktur Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan.

Sedangkan, mis-leading, menurut Kallman, adalah karena memang begitulah adanya. GT International tidak bisa bertanggung jawab terhadap hasil audit orang lain, termasuk partnernya atau afiliasinya. Dalam kasus TLKM, GT International memang tak bisa bertanggung jawab terhadap hasil audit yang dilakukan KAP Eddy Pianto. “KAP Eddy Pianto-lah yang harus bertanggung jawab. Tapi GT International harusnya men-support terhadap KAP Eddy Pinato, yang menjadi afiliasi dari mitranya di Indonesia, yakni PT Grant Thornton Indonesia. Kalau tidak, buat apa ada kemitraan,” kata Kallman. Buat apa bayar fee kemitraan, juga mengikuti standar dan prosedur GT International.

Lalu, akankah Eddy Pianto dan/atau James S. Kallman akan menggugat GT International atau membiarkan ulah GT International itu, sambil memberi kesempatan kepada TLKM dan auditor yang baru ditunjuk, PwC menyelesaikan review audit LK TLKM on Form 20F, seperti yang diminta US SEC? (rizagana/bersambung)

Dipublis di Harian Investor Indonesia pada 7 Juli 2003


Manajemen Telkom Kurang Hati-hati
Kasus LK Telkom 2002, Kelalaian Manajemen? (2/habis)


Eddy Pianto Simon. Di kalangan auditor, namanya belum seterkenal Hans Tuanakota, Hendrawinata, atau Hadi Sutanto. Sejak awal Juni lalu, nama Eddy Pianto mencuat bersamaan dengan penolakan SEC (Securities and Exchange Commission), Bapepam Amerika Serikat terhadap Laporan Keuangan (LK) 2002 PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM).

“Saya sering dengar namanya, tetapi saya belum pernah bertemu. Saya tidak kenal dia. Teman-teman, saat saya tanya juga, mengaku tidak kenal,” kata seorang auditor senior yang sudah malang-melintang dalam bisnis audit di Indonesia selama 30 tahun lebih.

Eddy Pianto memiliki KAP yang bermarkas di Muara Karang, Jakarta. Salah seorang stafnya mengatakan, jumlah karyawan KAP Eddy Pianto ada cuma 15 orang. “Semuanya auditor,” katanya. Dengan jumlah tenaga audit segitu, KAP ini memiliki banyak pekerjaan audit. Diantaranya adalah PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk. (TKIM), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, (INKP). Kedua perusahaan ini listing di Bursa Efek Jakarta (BEJ).

Tetapi TLKM adalah perusahaan yang dual listing, baik di BEJ maupun di New York Stock Exchange (NYSE), yang aturannya jauh lebih rumit ketimbang aturan di bursa Indonesia. Selain itu, BUMN telekomunikasi itu termasuk besar dari segi aset dan market capitalization, memiliki kantor yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan pendapatan utama berasal dari pulsa yang dicatat secara computerize.

“Hebat. KAP Eddy Pianto bisa menerima pekerjaan mengaudit Telkom. Saya saja, yang memiliki 100 karyawan, tidak berani mengambil kerjaan itu. Karena pasti separo karyawan saya akan tersedot ke Telkom. Saya dengar, Earnst & Young dan HTM (Hans Tuanakota & Mustofa) saja menerjunkan tidak kurang dari 40 orang,” katanya.

Menurut auditor senior yang enggan disebut namanya, 90 persen pendapatan TLKM berasal dari pulsa. Seluruh pendapatan tersebut dicatat secara computerize, yang kantornya tersebar di seluruh tanah air. Selain membutuhkan tenaga besar, juga membutuhkan tenaga ahli kumputer. “Saya bisa mengerjakannya, tetapi sayang kalau harus mengabaikan kerja audit yang lain. Fee-nya, saya dengar, lumayan besar,” katanya. Menurut informasi yang diterima Investor Indonesia, fee untuk KAP Eddy Pianto mencapai Rp3 miliar.

Tidak Hati-hati

Itu baru dari segi besar dan rumitnya pekerjaan mengaudit LK TLKM, belum termasuk kompetensi KAP Eddy Pianto untuk mengaudit LK emiten yang tercatat di Bursa New York. Di pasar modal Indonesia, KAP Eddy Pianto yang sudah terdaftar di Bapepam dan Depkeu, hasil auditnya tak bermasalah. Tapi Bapepam AS (US SEC) memiliki aturan dan kriteria tersendiri bagi auditor yang bisa mengaudit LK emiten yang tercatat di NYSE.

Seorang akuntan senior tidak percaya KAP Eddy Pianto yang hanya memiliki tenaga kurang dari 20 orang bisa mengaudit LK TLKM 2002. “Dibantu oleh PT GTI adalah salah. Karena PT GTI bukan auditor firm, melainkan consulting firm. Auditor firm tidak menggunakan PT, tapi KAP,” katanya. Ada juga yang curiga, ada apa-apanya antara James S. Kallman, Eddy Pianto dengan Arief Arryman, ketua komite audit TLKM?

Seorang sumber lain menunjukkan, betapa Eddy Pianto dan manajemen TLKM tidak hati-hati dalam masalah ini. Dia menduga, manajemen TLKM sedang sibuk dengan lobi-lobi berkaitan dengan tarif dan lain sebagainya. “Betul awalnya, KAP Eddy Pianto adalah mitra GT International. Tetapi, ketika mendapat pemberitahuan dari GT International pada Desember bahwa kemitraan antara GT International dengan GT Indonesia dan Eddy Pianto akan putus dan efektif pada 31 Maret 2003, seharusnya manajemen Telkom bersikap: putus dengan Eddy Pianto. Lalu, lapor ke US SEC,” katanya.

Nyatanya, manajemen TLKM tetap kekeh melanjutkan KAP Eddy Pianto sebagai auditor dan Eddy Pianto juga tenang-tenang saja bekerja. Kalau Eddy Pianto dan PT GT Indonesia bertanggung jawab, harusnya mereka tahu diri. Itu pertama. Kedua pada sekitar Januari sampai Maret 2003, staf US SEC berencana datang ke Jakarta untuk memverifikasi KAP Eddy Pianto. “Sayang, selama kurun waktu Januari sampai Maret itu ada wabah SARS. Orang SEC tidak diperkenankan datang ke Jakarta,” katanya. Diingatkan, auditor firm yang akan mengaudit LK emiten yang listed di NYSE harus mengikuti proses internal control yang dilakukan oleh SEC.

Ketiga adalah, manajemen TLKM dua kali melakukan filing ke US SEC. “Pertama pada 15 April 2003 dengan letter head GT International. Lalu, ketika US SEC me-reject, manajemen TLKM menyusulkan filing kedua pada Juni 2003, dengan menyatakan, LK TLKM 2002 sebagai unaudited,” katanya. Untuk apa, manajemen TLKM melakukan filing kedua, kalau filing pertama sudah ditolak? Kenapa pula manajemen TLKM menyatakan, LK TLKM 2002 sebagai unaudited. “Mending tidak usah melakukan filing kedua itu,” katanya.

31 Orang, 30.000 Jam

Sayang manajemen TLKM dan komite audit TLKM tidak bersedia memberi keterangan. Eddy Pianto juga masih di Australia, dan belum kembali sejak kasus ini muncul.

Namun, James S. Kallman, presiden direktur PT Moores Rowland Indonesia (d/h PT Grant Thornton Indonesia), membantah keras dugaan yang tidak berdasar, bahwa ada kongkalikong antara James Kallman, Eddy Pianto dengan Arief Arryman, ketua Komite Audit TLKM. “Saya memang dekat dengan Bapak Arief Arryman. Tetapi kedekatan kami terjadi setelah kami menerima kerja audit Telkom. Sebelum kami dipercaya Telkom, saya tidak kenal dengan Bapak Arief Arryman,” katanya.

Mengenai kompetensi, Kallman juga tidak bosan-bosan menyakinkan bahwa KAP Eddy Pianto memiliki kompetensi untuk mengaudit laporan keuangan emiten yang listed di NYSE. Karena, seperti sudah dimuat dalam tulisan pertama, KAP Eddy Pianto adalah afiliasi PT GTI, sehingga GT International mengijinkan KAP itu untuk menggunakan letter head GT International.

Ketika menuntaskan kerja audit LK TLKM 2002, KAP Eddy Pianto dibantu oleh KAP Jimmy Budi sebagai pelaksana di lapangan. Menurut Kallman, pihaknya bahu-membahu merampungkan kerja audit TLKM sebelum pemutusan hubungan kemitraan dengan GT International yang berakhir efektif pada 31 Maret 2003. “Tiga puluh satu orang auditor diterjunkan. Kami bekerja selama 30.000 jam non stop selama empat bulan waktu yang diberikan kepada kami,” kata Kallman.

Itu berarti dengan waktu yang diberikan selama empat bulan, dan setiap bulan ada 25 hari kerja, maka setiap orang bekerja full selama 9,6 jam sehari. “Coba Anda bayangkan. Kami sangat serius mengerjakan tugas yang dipercayakan Telkom kepada kami,” katanya. Itu dilakukan untuk memenuhi tenggal waktu sampai 31 Maret 2003. Yakni, deadline penyampaian laporan keuangan audit. Tanggal itu, adalah batas waktu efektif putusnya hubungan kemitraan antara PT GTI dengan GT International. “Dan, kami bisa menyelesaikan audit itu pada 25 Maret 2003, sebelum kemitraan dengan GT International berakhir.”

Tentang press realese GT International, lanjut Kallman, PT GTI mencari bantuan dari GT Austria. “Pada sekitar bulan Januari 2003, GT Austria mengirimkan dua orang stafnya untuk membantu dan membimbing kami, terutama dalam hal US SEC rules dan telecomunication rules,” kata Kallman. Pria AS yang sudah 13 tahun tinggal di Indonesia ini tetap mendasarkan diri pada surat David McDonnell, Chief Executive Worldwide GT International yang dikirimkan kepada Mirza Mochtar (baca tulisan kemarin, red). Kenapa dalam press realese GT International pada 1 Juli lalu, GT International menyatakan tidak bertanggung jawab terhadap hasil audit KAP Eddy Pianto atas LK TLKM 2002?

Seorang sumber Investor Indonesia lain menyebutkan, ketika GT International memutus hubungan dengan PT GTI pada Desember 2002 dan efektif pada 31 Maret 2003, terjadi pertarungan seru di Pengadilan AS. “PT GTI habis-habisan disitu demi mempertahankan diri. Tapi akhirnya kalah, dan mitra GT International akhirnya jatuh kepada KAP Hendrawinata,” katanya. Apakah karena pertarungan di pengadilan itu, yang menyebabkan KAP Eddy Pianto (eks-afiliasi PT GTI) tidak mendapat dukungan saat filing Annual Report on Form 20F TLKM ke US SEC? “I don’t know. Nggak tau aku. Yang jelas perpisahan itu, pahit buat James Kallman,” katanya. (rizagana)

Dipublis di Harian Investor Indonesia pada 8 Juli 2003

2 komentar:

Anonim mengatakan...

artikel akuntansinya bagus2, tapi kok kebanyakan copy paste dari blog lain ya..be more critical, bro..

BELAJAR BAHASA mengatakan...

Kasus audit Grant Thornton, bukan pada hasil kinerjanya melainkan karena license dari Grant Thornton